Sabtu, 01 Desember 2012

rumah pangung adalah rumah adat sumbawa

Ai Mangkung

Cerita Rakyat :

Berawal dari sebuah desa yang tentram dan damai bernama Jompang. Letaknya di sebuah bukit dekat Olat Pamanto Asu’. Di desa itu pemerintah seorang Datu yang dikenal dengan sebutan Datu Palowe’ Datu. Ia mempunyai dua orang anak terdiri dari seorang putra bernama Lalu Wanru dan seorang putri bernama Lala Sri menanti putra Datu Paloweini terkenal terparas cantik dan rupawan sehingga banyak orang tertarik di buatnya Lala Sri menanti merupakan satu- satunya anak kesayangan Datu Palowe.

Demi anak semata wayang itu, segala kemauan dan keinginan anaknya selalu dituruti oleh Datu Palowe. Mulai dari bermacam-macam pakaian yang dikenakan Lala, sampai kepada berbagai perhiasan indah- indah. Suatu ketika Lala ingin makan udang. Maka diperintahkan Bapak Bangkel dan Ina Bangkel’ dan beberapa orang lainnya pergi nempas ‘ Mereka menempas kali yang ada di sekitar Desa Jompong. Tidak ketinggalan Lala juga ikut serta.
Sambil menunggu undang hasil tangkapan , Lala duduk di atas sebuah batu besar menyaksikan orang yang sedang nempas Bersamaan dengan itu tanp sepengetahuan mereka datang pula empat orang dari Desa Tarusa untuk menebang dan mengambil bambu yang banyak tumbuh di sekitar Olat Pemanto Asu. Masing-masing mereka membawa seekor kuta untuk mengangkut. Dari kejauhan mereka melihat sesuatu yang menarik didalam kali. Dan wajah mereka terpana ketika melihat Lala yang sedang dudukdi atas batu. Mereka sangat tertarik terhadap wajah yang sangat cantik dan rupawan Akan tetapi mereka lebih tertarik dengan berbagai corak perhiasan yang dikenakan Lala Biar bagaimanapun mereka tentu tahu siapa Lala Sri.Menanti sebenarnya sebagai putri Datu Plowe yang sangat kesohor dan namanya terkenal kemana-mana. Sedangkan mereka hanyalah rakyat biasa.
Mereka mencari cara untuk mendapatkan perhiasan itu. Sambil mengendap-endap dari balik rimbunan semak belukar mereka mendekat ke tempat duduk L ala Manusia yang telah dihinggapi niat jahat dan bejat itu. Demikian dengan seketika mereka menyergap tubuh Lala. Salah seorang di antaramereka menyumbat mulut Lala agar tidak bersuara. Dan selanjutnya dengan paksa merampas segala perhiasan yang dikenakan Lala, terutama perhiasan yang ada di lengannya. Lala Sri Menanti melonta-lonta berusaha untuk melepaskan diri. Berkali-kali lengan Lala yapukal’akan tetapi selalu saja gagal. Tetapi dasar orang yang telah disaruki niat jahat dan bejat mereka pantang surut. Mereka terus berusaha merampas perhiasan Lala. Salah seorang di antara mereka yang bernama Ua Nyawa dengan mencabut parang yang diikatkan di pinggangnya memotang tangan Lala. Dengan satu kali tebasan saja lengan Lala yang harus mulus itu sudah buntus. Lala Sri Menanti tidak sempat menjerit. Putri malang itu telah menemui ajalnya sebelum parang mengetahui tubuhnya.
Setelah berhasil merampas perhiasan dan membunuh Lala, mereka para membunuh itu terus berlalu Lengan Lala yang terpotong dibuang di dalam kali. Perhiasan yang berhasil di rampas dibawa pulang oleh empat orang itu ke Desa Tarusa sempat pula mereka membawa bekasnya.
Sementara itu Ina Bangkel dan Bapak Bangkel serta temannya sedang asyik bekerja sehingga tidak sempat mendengar dan melihat kejadian yang begitu mengenaskan itu. Peristiwa itu begitu cepat terjadi. Dan ketika mereka menoleh ke tempat duduk Lala. Dilihatnya tubuh itu telah tak bernyawa lagi.
Konon, lengan Lala yang terpotong itu menjelma menjadi seekor ikan tuna yang buntung. Dan tempat tuna itu menjadi sebuah perigi yang airnya jernih bening. Di dalamnya terdapat batu marmer. Tepat di hulu sungai Desa Jurumapin. Di dekatnya terdapat lorong mirip gua.Orang – orang yang datang bayar nasar dapat masuk ke lorong itu. Tetapi sekarang karena perubahan alam, lorong itu telah agak tertutup oleh pasir dan kerikil, sehingga orang tidak lagi leluasa masuk ke dalamnya. Dan di bagian atas bukit terdapat sebuah batu berbentuk dipan berukir. Di dekatnya terdapat batu – batu lain yang mirip peti dan kursi. Konon itu adalah bekas tempat tinggalnya Datu Palowe dahulu, yang hingga sekarang dapat ditelusuri kebenarannya.
Menurut kepercayaan orang – orang disana, rowe 11) dari orang yang mengambil perhiasan Lala Sri Menanti waktu itu dari Desa Tarusa, tidak dibolehkan minum air kali itu. Jika diminum juga, air itu terasa sepat, dan menimbulkan penyakit. Air kali itu disebut Ai Mangkung. Terkadang pada musim kemarau orang dari Desa Jurumapin, Desa Kalabeso, maupun Desa Tarusa selalu datang ke Ai Mangkung untuk bayar Nsar. Orang yang datang bayar nsar dapat melewati gua itu. Terkadang dilihatnya ikan tuna yang buntung sedang meloyong 112) di dalam air. Sedang mulut ikan tuna itu merah delima seperti bibir seorang gadis.

Bakat Loka dan Buir

Cerita Rakyat :

Di jaman yang telah lampau tersebutlah di dalam kisah seorang putera raja yang konon berasal dari Gowa Sulawesi Selatan. Ia datang ke tempat ini bukan untuk memerintah tetapi untuk menyebarkan Agama Islam. Tempat ini dinamakan Bekat Loka, suatu tempat yang dijadikan tempat tinggal dan lama kelamaan menjadi sebuah dusun. Bekat asal katanya adalah berkat. Dusun yang diberkati Allah tempat bermukim seorang alim dari Putera Raja Gowa.
Di Dusun Bekat Loka inilah akhirnya Putera Raja Gowa wafat. Kini lokasi itu dapat dilihat lebih kurangseratus depa sebelah tenggara sebuah bukit kecil yang dikenal dengan Ponan. Bukit Ponan sendiri terletak diantara tiga buah dusun yaitu Dusun Poto, Dusun Malili, dan Dusun Lengas. Di Dusun Bekat Loka inilah lahir seorang putera yang dikenal oleh penduduk setempat dengan nama Haji Batu yang makamnya sekarang dapat dilihat dipuncak Bukit Ponan. Bekat Loka merupakan asal muasal munculnya ketiga dusun yang disebutkan diatas yaitu Dusun Poto, Dusun Malili, dan Dusun Lengas.Dusun Bekat Loka lama kelamaan banyak ditinggalkan oleh penduduknya. Para penduduk lebih memilih bertempat tinggal dekat dengan tanah garapannya yang dibukanya sendiri pada saat itu. Akhirnya terbentuklah sebuah dusun yang lain yang diberi nama Samongal yang letaknya juga diatas sebuah bukit berdekatan dengan sebuah sungai kira–kira berjarak seratus meter dari Dusun Poto, yaitu disebelah utara dusun Bekat Lengas. Nama Samongal berasal dari kata Samonga artinya dalam bahasa Sumbawa yang diandalkan. Di Dusun Samongal inilah sebagian besar keturunan putera Raja Gowa bermukim dan lama kelamaan melahirkan dua bersaudara yang kelak akan menjadi penyambung lidah Sultan Samawa Pertama.
Kedua orang bersaudara itu dalam perkembangannya diangkat menjadi pemegang adat dan pemerintahan. Sebelum melaksanakan pemerintahan keduanya lebih dahulu disumpah secara Islam oleh Datu Qadi. Kedua orang bersaudara itu setelah disumpah diberi gelar masing–masing Dea Dasin Salidin dan Dea Gamal. Dea Dasin Salidin memegang adat dan pemerintahan dari Samongal Moyo Hilir (Paroso) sampai ke Buir (Juru Mapin) Alas. Sedang Dea Gamal bertugas menjaga dan meneliti adat secara Islami.
Adat dalam penyelenggaraan pemerintahan saat itu adalah adat yang bersifat asli (primitive) yang dilaksanakan secara Islami artinya bersendikan syara dan Kitabullah. Sampai sekarang adat-adat ini sebagian masih dipertahankan sesuai dengan jamannya.
Dalam melaksanakan tugasnya Dea Dasin Salidin diberikan imbalan tanah sawah berlokasi di Orong Rea. Tanah Sawah ini disebut Uma Panyaka. Yang diberikan kepercayaan untuk penyelenggaraan sawah itu adalah orang–orang dari Dusun Sengkal dan Dusun Batu Bulan. Mereka ini bukan budak tetapi disebut Tau Sanak (artinya orang yang dipandang sebagai keluarga).
Dea Dasin Salidin adalah sosok pemimpin yang memiliki rasa kasih sayang yang tinggi terhadap rakyatnya, sehingga rakyat pada waktu itu juga memiliki rasa berbakti yang tinggi pula. Dalam perjalanan hidup akhirnya Dea Dasin Salidin (pertama) wafat dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Tidak lama setelah Dea Dasin 1 wafat dan dimakamkan, diangkatlah Dea Dasin 2 yang merupakan putera dari Dea Dasin 1. Dea Dasin 2 dikenal juga dengan nama Dea Dasin Ali. Dea Dasin 2 ini merupakan tokoh yang tangkas, tegap, jujur dan adil pula. Sebagai bukti bahwa Dea Dasin 2 adalah sosok pemimpin yang jujur dan adil yaitu ketika anaknya yang bernama Poro Ali (bakal Dea Dasin 3) menentang adat maka anaknya itu dimasukkan bui. Kedatangan Belanda ke Sumbawa pada waktu itu tidak banyak mempengaruhi perilaku rakyat karena adat dilaksanakan sangat kuat sesuai dengan syariat Islam. Atas sikap adil yang luar biasa yang ditunjukkan oleh Dea Dasin 2 maka pihak Belanda pada waktu itu memberikan dan menyematkan Bintang Jasa dari emas.
Sesuai dengan adat maka disamping Dea Dasin ada Dea Gamal yang bertugas menjaga dan meneliti adat secara Islami. Penjagaan adat itu mulai dari dalam Istana sampai ke lapangan , yaitu misalnya adat di masjid, adat di rumah-rumah pejabat, adat di rumah, adat berhadapan dengan guru agama, alim ulama, dan lain-lain. Di Istana, dua jabatan adat yang dijabat oleh dua bersaudara ini urutan duduknya sebagai berikut. Sultan berjejer dengan Menteri Lante. Dea Dasin dan Dea Gamal berjejer dengan b>Adipati Raja. Mereka duduk berhadapan dengan Raja (Sultan) dalam bermusyawarah adat atau lainnya. Jika salah seorang belum hadir maka musyawarah adat belum dimulai.
Dea Gamal (1, 2 dan 3) pada jamannya masing–masing mempunyai tugas yang sama. Imbalannya adalah sawah di Kecamatan Utan sekarang yang disebut dengan Uma Gamal. Sampai sekarang ini sawah tersebut tetap dikenal dengan nama Uma Gamal.
Asal usul Dea Dasin dan Dea Gamal ini adalah keturunan Sulawesi. Demikian pula dengan Sultan Sumbawa. Buir identik dengan Bekat. Jika orang menyebut Buir maka sudah termasuk di dalamnya Kalabeso, Tarusa, dan Jurumapin. Dan jika orang menyebut Bekat maka termasuk didalamnya adalah Poto, Malili, dan Lengas, yang masih dapat dilihat sekarang adalah pakaian adat istana yang dulunya dipakai oleh kedua pejabat ini.

Meke Serep


Cerita Rakyat :


Pertemuan di Ruang Sidang

Pada tahun 1350 Gajah Mada Mahapatih kerajaan Maja Pahit beserta Empu Nala mempersatukan Nusantara dari Sabang sampai Merauke guna membuktikan cita – citanya yang terkandung dalam Sumpah Palapa. Nusantara bersatu di bawah lambang bendera Majapahit di bawah pimpinan raja yang bijaksana yaitu Hayam Wuruk dengan Mahapatih yang sakti yaitu Gajah Mada. Pada waktu rakyat kerajaan Tana Samawa di bawah pimpinan raja yang mulia Raja Nuang Sasih yang memililki kekuasaan dari Empang sampai ke Jereweh tunduk kepada Kerajaan Majapahit serta memeluk agama Hindu.
Sisa – sisa peninggalan ajaran agama Hindu sampai sekarang masih dapat ditemukan dalam praktek kehidupan masyarakat Samawa sehari – hari terutama di desa – desa atau di daerah terpencil. Misalnya mengantar sesajen ke tempat mata  air, batu – batu, pohon – pohon kayu yang besar dan lain – lain yang dianggap keramat. Raja Nuang Sasih memimpin Kerajaan Tana Samawa dengan adil dan bijaksana. Rakyat hidup aman dan tentram serta adil dan makmur. Karena itu raha Nuang Sasih sangat dicintai rakyatnya. Di suatu pagi yang cerah di ruang sidang Sri Menganti di istana Kerajaan Tana Samawa penuh sesak dengan tentara Kerajaan, hulubalang, para menteri, punggawa, dan panglima kerajaan. Nampaknya akan ada pertemuan dengan raja Nuang Sasih. Tak berapa lama kemudian Raja Nuang Sasih yang bijaksana dan mulia memasuki ruang sidang yang diberi nama Ruang Sidang Sri Menganti itu. Padukan Raja diiringi oleh para pengawal istana yang sakti – sakti. Semua yang hadir memberi hormat yang khidmat kepada Raja Nuang Sasih. Segeralah Raja Nuang Sasih memulai pembicaraan. “Wahai Panglima” kata Raja “Daulat Tuanku Syah Alam”, jawab Panglima segera. “Apakah para pimpinan bala tentara kerajaan, para punggawa,dan para menteri sudah hadir seluruhnya?”, kata Raja Nuang Sasih. “Ampun yang Mulia, pimpinan, balatentara, para punggawa, dan para menteri kerajaan seluruhnya sudah siap”, jawab Panglima Kerajaan. Setelah mendengar laporan dari Panglima, Raja Nuang Sasih segera memberikan Wejangannya. “Panglima, para menteri, punggawa, serta para pimpinan balatentara kerajaan, maksud dan tujuan kita berkumpul di Ruang Sidang Sri Manganti ini yaitu untuk membicarakan penjagaan dan pengawalan terhadap Puteri Mahkota Kerajaan yaitu Puteriku Lala Baka. Saya perintahkan kepada semua yang hadir untuk dapat menjaga keselamatan puteriku dari perbutan – perbuatan tercela, hingga tidak memalukan kita semua dan seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa ini”, Kata Raja bertitah. “Pengawal!’, kata raja memangggil pengawalnya. ‘Daulat Tuanku”, jawab pengawal. ‘Segera panggil puteriku Lala Baka untuk hadir di ruang sidang ini sekarang juga’, ucap Baginda Raja memerintahkan pengawal. “Daulat Tuanku Baginda Raja”, kata pengawal sambil segera memanggil Lala Baka. Lala Baka adalah Puteri Mahkota Kerajaan Tana Samawa, yang disanjung dan didambakan oleh seluruh rakyat Tana Samawa. Teristimewa oleh Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih beserta Permaisuri. Tak berapa lama kemudian Puteri Mahkota Lala Baka memasuki ruang sidang Sri Menganti, diiringi dayant – dayang istana dikawal oleh para pengawal untuk menghadap ayahanda tercinta. Setibanya di hadapan Paduka Yang Mulia, Lala Baka beserta pengiring langsung sujud sembah yang menggambarkan ketaatan dan kestiaan puteri mahkota. Setelah itu Baginda Raja memulai pembicaraan. “Wahai Puteriku tersayang,” kata Baginda memulai pembicaraan. “Daulat ayahanda tercinta”, jawab Lala Baka. “Maksud dan tujuanku memanggil engkau menghadapku di ruangan sidang ini adalah aku bermaksud menyampaikan nasihat dan perintahku kepadamu puteruiku. Dan aku ingin agar nasihat dan perintah ini disaksikan oleh para menteri,panglima dan seluruh unsur pimpinan kerajaan”, kata Baginda Raja. “Daulat ayahanda tercinta”, ucap Puteri Mahkota Lala Baka. “Begini anakku”, kata Baginda Raja memulai nasehatnya. “Puteri Mahkota adalah merupakan contoh dambaan seluruh rakyat Tana Samawa. Untuk itu aku minta kepadamuperliharalah dirimuagar tidak terjerumus dalam lembah kehancuran. Terlebih –lebih dirimu seorang perempuan dan puteri raja. Jangan sampai kau tergoda oleh rayuan iblisyang jahat. Bersediakah kau puteriku memelihara dirimu?”, ungkap baginda Raja dengan mengajukan pertanyaan. Lala Baka tertegun dengan ucapan ayahandanya Baginda Raja Nuang Sasih yang mengandung harapan guna menjawab kehormatan keluarga kerajaan itu. Segeralah Lala Baka menjawab pertanyaan baginda raja “Ampun yang mulia. Hamba bersumpah dan berjanji di hadapan ayahhanda tercinta dan dihadapan seluruh pemerintah kerajaan bahwa hamba akan memelihara diri dan tidak akan memalukan ayahanda beserta ibunda, dan seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa tercinta”. Jawab Putri Mahkota. Baginda Raja Nuang Sasih dan seluruh yang hadir di ruang sidang mendengar dengan penuh perhatian terhadap ucapan Lala Baka sebagai seorang Putri Mahkota.Kemudian Baginda Raja melanjutkan. “ Para Menteri, Panglima, dan Punggawa”, kata Baginda Raja “ Daulat Baginda Raja”, jawab Menteri, Panglima, dan Punggawa serentak. “ Sudahkan kalian semua mendengar sumpah dan janji puteriku?. Tanya Baginda Raja kepada para Menteri, Panglima, dan Punggawa kerajaan. “ Daulat Tuanku. Kami semua sudah mengdengar dan menyaksikan . Dan kami semua siap untukmenjaga dan memelihara keselamatan Tuan Puteri, jawab Para Menteri, Panglima, dan Punggawa serentak. Baginda Raja merasa sangat senang mendengar kesaksian dan kesanggupan segenap Menteri Panglima dan Punggawa untikmenjaga dan memelihara keselamatan Taun Puteri. Kemudian Baginda Raja memandang kepada Puteri Mahkota dan melanjutkan pembicaraan. “ Tapi ingat apabila Puteriku melanggar segala nasihatku maka aku akan memberikan hukuman yang sangat berat kepadamu Puteriku. Bersediakah kau menerima hukuman?”’ kata Baginda Raja. “ Daulat ayahanda tercinta, sekiranya hamba melanggar sumpah dan janji maka hukumlah hamba dengan hukuman yang seberat-beratnya. Hamba bersedia kata Puteri Mahkota meyakinkan ayahandanya.
Kabut Kelabu di Langit Istana.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan bumi terus berputar pada porosnya. Siang berubsah menjadi malam dan malampun berubah menjadi siang. Demikianlah hidup manusia di dunia fanaini. Suatu masa ia bahagia, suatu masa ia menderita. Adakalanya manusia itu sakit. Kehidupan manusia di atas dunia ini selalu berubah ubah. Setahun kemudian, kerajaan Tana Samawa ditutupi kabut kelabu yang memalukan dan menciderai nama mulia Baginda Raja Nuang Sasih beserta seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa. Putri Mahkota Lala Baka di timpa mala petaka. Ia hamil tiga bulan tanpa nikah . Dan rahasia ini di ketahui oleh Paduka Yang Mulia . Seluruh rakyat berkabung memikirkan nasib Putri Mahkota Lala Baka yang akan mendapat hukuman berat dari Paduka Yang Mulia. Peristiwa kelabu ini terjadi kira-kira tahun 1480 Masehi, sebelum Agama Islam masuk ke Tana Samawa. Di suatu pagi yang cerah, di ruang sidang Sri Menganti, Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih dihadapi patih, Panglima, para Menteri dan para Punggawa guna mendengarkan perinah yang harus dilaksnakan. Raja Nuang Sasih memulai pembicaraan. “ Wahai Patih, Panglima, dan para Menteri, serta para Punggawa pada saat ini kerajaan telah ditimpa kabut kelabu. Tindakan apakah yang harus kulakukan kepada putriku Lala Baka?’ kata Baginda Raja Nuang Sasih meminta pertimbangan. “ Ampun yang mulia. Segala putusan hamba serahkan kepadaBaginda Yang Mulia. Sedangkan hamba siap melaksanakannya’’, kata salah seorang Menteri. Putriku telah memberi malu kepada rakyat Tana Samawa. Hukuman yang akan kuberikan pada putriku ialah hukuman yang setimpal dengan perbuatanya”, kata Raja Nuang Sasih. “ Daulat Tuanku”, kata salah seorang Patih. “ Wahai Patih dan Panglima bawalah Lala Baka ke tempat pengasingan di dalam sebuah hutan lebat. Hutan itu terletak di sebuah selatan desa Senawang. Di dalam hutan itu ada sebuah gua yang namanya Liang Bedis Untuk menjaga keamanan dalam perjalanan bawalah sepasukan tentara pengawal istana”, titah Paduka Raja. “Daulat Tuanku Yang Mulia. Hamba akan laksanakan sebagaimana titah paduka Tuanku. Kapan hamba akan laksanakan Yang Mulia?”, jawab Patih. “Dua hari yang akan datang.Sekarang lakukanlah persiapan”, perintah Baginda Raja kepada Patih Kerajaan.
Menuju ke Pengasingan
Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Demikian nasib Puteri Mahkota Kerajaan Tana Samawa Lala Baka yang dirundung malang atas perbuatannya sendiri. Lala Baka yang selalu hidup bahagia, tenang dan tentram, dikelilingi oleh dayang – dayang istana, kini akan menerima hukuman dari Ayahanda tercinta. Tiga bulan sudah lamanya Lala Baka tidak pernah keluar dari peraduannya. Sehari sebelum pembuangan dilaksanakan, Kakek tercinta menemui cucunya yang sangat disayanginya itu. Dengan air mata berlinang dengan suara terputus-putus memeluk cucunya yang sangat disayanginya. “ Cucuku ! Cucuku ! Aku sayang padamu !”, kata Kakek itu terbata-bata. “ Ampunkan hamba Kek ! Hamba telah berbuat dosa telah melanggar nasihat Ayahanda tercinta. Hamba telah memberi malu keluarga dan seluruh Kerajaan Hukuman apapun yang diberikan oleh Ayahanda akan Hamba Terima dengan hati terbuka”, kata Lala Baka Seraya menitikkan air mata seolah-olah menyesalkan perbuatannya. “ Sabarlah Cucuku ! Menurut kabar yang kuterima bahwa besok pagi cucuku akan dibawa oleh Patih , Panglima, beserta Pasukan Pengawal Istana ke sebuah hutan lebat sebelah selatan dusun Senawang. Di dalam hutan itu ada sebuah gua namanya Liang Bedis. Di situlah Cucuku akan diasingkan. “ Benarkah Kek ?”, tanya Lala Baka. “ Benar Cucuku !”, jawab Kakeknya. Mendengar jawaban Kakeknya, Lala Baka merasa sangat sedih. Dirinya akan dibuang ke hutan rimba belantara yang sangat jauh dari keramaian. Tentu saja suasananya akan gelap gulita. Tidak ada orang yang akan menolong jika dirinya ditimpa sakit atau kesulitan. Dipandangnya Kakeknya seolah-olah memohon belas kasihan. Lalu katanya. “ Hamba mohon kepada Kakek berilah hamba bekal guna keselamatan hamba di tempat pembuangan”, kata Lala Baka memelas. “ Baiklah Cucuku. Demi keselamatan jiwamu, Kakek akan memberikan padamu sebuah azimat yang tidak pernah kuberikan pada ayahmu. Tapi ingat jangan sekali-kali kau perlihatkan kepada ayahmu atau siapapun”, kata kakeknya membeerikan harapan dan nasehat. “Baiklah kek ! Azimat apakah itu Kek?” tanya Lala Baka. “Inilah Azimat itu cucuku ! Sebuah cincin bernama Cincin Permata Biru. Dalam Permata Biru ini terdapat Jin Raksasa yang akan menghancurkan segala bala dan petaka yang akan mengganggu dirimu. Pakailah cincin ini dan apabila ada yang datang mengganggu maka arahkan permata cincin ini lurus kepada yang datang mengganggu , niscaya musnalah segala gangguan itu,” kata Kakeknya menjelaskan. “Terima kasih Kek”, kata Lala Baka sambil memasukkan Cincin permata biru itu kr jari masninya yang lentik. “Doakan Hamba selamat ya Kek?”, kata Lala Baka. Keesokan harinya pada pagi hari yang cukup cerah tibalah saat pmbuangan yang telah ditetapkan Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih terhadap Putri Mahkota Lala Baka. Patih, Panglima, dan Pasukan Tentara Pengawal Istana sudah siap. Patih menghadap Puteri Mahkota Lala Baka guna menjemput Lala Baka untuk segera melaksanakn perintah Yang Mulia. “Ampun Yang Mulia Putri Mahkota. Hamba datang menghadap guna menyampaikan perintah Paduka Raja Yang Mulia”, kata Patih Kerajaan. “Apakah itu Patih?, tanya Lala Baka seolah – olah belum mengetahuinya. “Hamba dan panglima beserta seluruh Pasukan pengawal Istana diperintahkan oleh Paduka Yang Mulia untuk menjemput Putri Mahkota untuk dibawa ke Liang Bedis,” kata Patih sesuai dengan perintah Raja Nuang Sasih. “Ya baiklah ppatih. Aku telah pasrah menerima segala hukuman yang bdiberikan ayahanda padaku. Bawalah aku sekarang juga””, kata Lala Baka pasrah. Maka naiklah Lala Baka ke atas usungan. Berangkatlah Lala Baka dan rombongan menuju Selatan Kerajaan Tana Samawa yaitu ke Liang Bedis di wilayah dusun Senawang. Dalam perjalanan Lala Baka diusung oleh Laskar Pengawal Istana diiringi oleh Patih dan Panglima. Perjalanan itu penuh warna kesedihan yang sangat menyayat hati. Sekarang merekaberjalan menyusuri sungai BrangBiji yang berhulu di gunung batu Lanteh dan bermuara di laut Labuhan Sumbawa. Setelah sepuluh hari perjalanan sampailah mereka di sebuah tempat, yaitu sebuah padang rumput yang luas. Padang rumput itu bernama Lenang Lengan. Padang rumput tersebut terletak disebelah Barat Desa Lenang Guar, yang jarakbnya kira – kira 12 km dari Lenang Lengan. Lenang Lengan termasuk dalam wilayah Lenang Guar. Para rombongan membuat perkemahan di Lenang Lengan untuk beristirahat selama semalam. Lala Baka diusung kedalam Kemah dengan cara yang tidak berubah sebagaimana layaknya Lala Baka menjadi Putri Mahkota. Kemudian Patih berucap “Ampunkah hamba. Kami mohon kepada Puteri Yang Mulia, jangan mempersalahkan kami. Tindakan hamba hanya melaksanakan perintah Paduka Raja Yang Mulia”, kata Patih. “Oh. Aku telah mengetahui semuanya. Tindakan – tindakan para pembesar kerajaan adalah melaksanakan perintah ayahanda tercinta. Kalian semua tidak bersalah. Tindakan ayahanda kepada diriku memang benar karena aku telah bersalah, memalukan Paduka Yang Mulia, dan seluruh rakyat tana Samawa. Pepatah mengatakan tangan mencencang bahu memikul. Lagipula dulu aku telah bersumpah dan berjanji di hadapan ayahanda. Aku telah melakukan kesalahan maka aku pula yang harus menanggung resikonya”, kata Sang Puteri Mahkota dengan tenang. Perjalanan selama sepuluh hari, telah menghabiskan bekal mereka. Seluruh rombongan tidak dobolehkan lagi memakan bekal yang ada. Patih berusaha melaporkan keadaan kepada Puteri Mahkota. “Wahai Puteri mahkota. Sekarang setelah sepuluh hari dalam perjalanan, persiapan bekal telah habis. Seluruh rombongan tidak dibolehkan lagi memakan bekal yang masih tersisa. Karena itu hal ini untuk sekedar diketahui oleh Tuan Puteri”, lapor Patih kepada Lala Baka. Lala Baka termenung sejenak. Lalu kemudian meminta kepada Patih dan seluruh Menteri yang ada di dalam kemah untuk keluar. “Kupinta kepada semua yang hadir dalam kemah ini untuk keluar, karena saya ingin beristirahat “, ujar Lala Baka. Maka segeralah Patih dan para Menteri yang ada di dalam kemah keluar dari kemah. Mereka maklum bahwa sang Puteri dalam keadaan kelelahan. Sekarang biarkan sang Puteri beristirahat untuk menjaga supaya tidak sakit. Didalam kemah, Lala Baka teringat akan Cincin Permata Biru pemberian kakeknya itu. Lala Baka lalu mencoba kekuatan gaib cincin itu apakah memang benar sakti dan dapat memberikan bantuan dalam mengatasi masalah. Lala Baka mengangkat lengannya, ditatapnya cincin Permata Biru itu sambil berkata. “Ampun Kek !. Kiranya Kakek dapat menangkap seekor menjangan besar untuk lauk pauk kami dalam perjalanan ini”, ucap Lala Baka kepada Cincin Permata Biru itu. Alangkah anehnya, dari cincin itu keluarlah Jin Raksasa yang siap melaksanakan perintah Tuan Puteri. Segera setelah sang Puteri memerintahkan maka Jin Raksasa itu langsung masuk hutan tanpa ada seorangpun yang dapat melihatnya kecuali sang Puteri Lala Baka. Jin Raksasa segera menangkap kijang yang besar,lalu kijang itu dibawa ke perkemahan. Tidak ada yang melihat Jin Raksasa itu. Patih dan para Menteri melaporkan bahwa ada kijang jantan besar masuk ke perkemahan. “Sembelilah kijang itu,” ujar Lala Baka kepada para Menteri. Alangkah gembiranya seluruh rombongan pada malam itu. Mereka makan malam dengan lauk daging menjangan yang enak dan gurih. Setelah makan malam mereka beristirahat tidur. Patih dan para Menteri terlibat dalam pembicaraan yang serius perihal nasib Kerajaan Tana Samawa yang ditutupi kabut kelabu. Lebih – lebih mereka semuanya merasa iba akan nasib sang puteri Mahkota. Tetapi tak banyak hal yang dapat dilakukan selain menjalankan perintah Paduka Yang Mulia Baginda Raja Nuang Sasih.
Keharuan di Liang Bedis
Keesokan harinya berangkatlah segenap rombongan mengikuti arus Brang Kreto, Brang Kemang Menir, Brang Punik, dan Brang Sakal. Setelah lima hari perjalanan sampailah mereka disebuah hutan rimba belantara yang lebat. Mereka memasuki hutan itu hingga sampailah ke tempat yang dituju yaitu Liang Bedis. Sesampainya di Liang Bedis, maka Patih melaporkan kepada Tuang Puteri. “Ampun Tuan Puteri Yang Mulia, disinilah tempat yang diperintahkan oleh Baginda Raja sebagai tempat tinggal Tuan Puteri untuk selama – lamanya.Kami mohon agar Tuan Puteri sabar dalam menjalani cobaan yang berat ini. Kami seluruh rombongan senantiasa mendoakan agar Tuan Puteri senantiasa beroleh keselamatan di tempat ini”, kata Patih mernyampaikan isi hati seluruh rombongan. “Terima kasih aku ucapkan kepada Patih,Para Menteri, Para Punggawa, dan para Pengawal Istana serta seluruh rombongan lainnya, yang telah sudi dan bersusah payah mengantarkanku ke tempat ini. Sekarang kalian semua kembalilah ke Istana dan kudoakan semoga semua sampai dengan selamat kembali ke istana kerajaan ujar Lala Baka dengan sedih. Segenap anggota rombongan terharu mendengar ucapan Lala Baka, yaitu Puteri Kerajaan yang selama ini akrab dan dicintai rakyatnya. Tak terasa seluruh rombongan menitikkan air mata pertanda ada goresan luka di dada tas nasib yang menimpa Tuan Puteri. Sebelum mereka berangkat pulang, kembali Lala Baka berpesan kepada Patih dan Para Menteri. “Paman Patih dan seluruh Menteri. Sampaikan salam hormatku dan permohonan maafku yang terakhir kepada ayahanda Baginda Raja dan juga kepada bunda tercinta Permaisuri. Salam hormatku juga untuk Kakekku juga untuk seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa. Siapa tahu perpisahan ini merupakan perpisahan untuk selama – lamanya”, ujar Lala Baka. Tak terasa seusai mengucapkan kata – kata itu Lala Baka menangis sesenggukan. Sebagai manusia ada berbagai rasa yang menyelinap di dalam dada. Rasa sedih dan duka, ekahruan, kerinduan, penyesalan dan lainnya. Tetapi itulah suratan takdir yang sudah terjadi atas diri seorang anak manusia. “Tuan Puteri sekarang kami moho pamit”, kata Patih mengakhiri perjumpaan itu. Selanjutnya seluruh rombongan kembali pulang meninggalkan Sang Puteri sendirian di dalam hutan rimba belantara yang lebat dan angker itu.
Lahirnya Sang Putera
Lala Baka tinggal sebatangkara di hutan lebat di dalam gua Liang Bedis. Dunia terus berputar mengikuti takdirnya, waktu berjalan bagaikan air mengalir, berbagai peristiwa terjadi di atas dunia ini. Berbagai peristiwa terjadi di atas dunia ini. Namun Lala Baka tidak banyak tahu tentang peristiwa itu karena dirinya terasing dalm suatu dunia yang hampir – hampir tak terjamah manusia. Lala Baka menjalani hidup dan kehidupannya dengan susah payah. Kondisi kehamilannya yang kian bertambah besar cukup menylitkannya. Segala pekerjaan dikerjakan sendiri. Tetapi lama kelamaan Lala Baka menjadi terbiasa. Dia mencoba menikmati segala duka derita yang dialaminya. Temannya hanyalah kesendirian. Kesunyian hutan kini sangat akrab dengan dirinya. Suara air mengalir, desir angin yang bertiup dicelah pepohonan, kicau burung di puncak pepohonan, dan suara lenguh binatang penghuni hutan telah menjadi nyanyian alam yang akrab dengannya dan menghibur hatinya. Tidak terasa telah enam bulan lamanya Lala Baka tinggal sendirian di Liang Bedis. Usia kandungannya telah memasuki bulan kesembilan. Berarti tak lama lagi ia akan melahirkan anak yang sekarang dikandungnya itu. Satu- satunya yang bisa diminta bantuannya adalah Jin Raksasa yang bersemayam di dalam Cincin Permata Biru yang menghiasi jari maninya itu. Segala keparluannya dilayani oleh Jin Raksasa yang setia kepada segala perintahnya. Akhirnya tibalah saat melahirkan. Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa Lala Baka melahirkan seorang putera dengan selamat. Putera yang dilahirkannya itu sungguh sangat tampan. Wajahnya yang manis manja dan ceria memberikan kesejukan kepada Lala Baka sebagai ibunya. Ditatapnya puteranya itu lalu diciumnya sambil mengucapkan kata- kata sayang. Tak terasa Lala Baka tenggelam dalam keharuan. Setitik air mata jatuh dipipinya, seolah- olah ia ingin membagi duka dengan puteranya yang masih bayi itu. Sekarang harapan hidupnya telah lahir. Lala Baka senantiasa berdoa kepada Yang Maha Kuasa untuk diampunkan segala dosa dan kesalahannya. Dan semoga anak yang dilahirkan ini kelak akan menjadi manusia yang berguna. Beberapa hari setelah melahirkan, Lala Baka bermaksud memberi nama kepada puteranya. Teringat ia akan amanat kakeknya dulu, jika sang buyut telah lahir maka berilah dia nama Lalu Adal. Sesuai dengan amanat kakeknya itu maka Lala Baka memberi nama anaknya Lalu Adal. Selanjutnya kehidupan Lala Baka dan puteranya di Liang Bedis berjalan aman, tenang dan tentram.
Pertemuan Dengan Pen Batang
Disuatu pagi yang cerah datanglah seorang pemburu kehutan itu. Pemburu itu datang untuk memburu rusa. Namanya Pen Batang dari Dusun Senawsang. Tiba- tiba Pen Batang menjadi heran karena ditemuinya jalan setapak menuju anak sungai. Pen Batang mencoba mengikuti jalan setapak itu ke arah sungai. Sesampainya di sungai Pen Batang bertambah hetan, karena terdapat bekas mandi manusia. “Hm. Selama hidupku datang berburu ke tempat ini belum pernah berjumpa dengan manusia” bisik Pen Batang kepada dirinya sendiri. Rasa ingin tahu Pen Batang mendorongnya untuk kembali mengikuti jalan setapak itu menuju ke lereng gunung tersebut. Kira-kira 25 meter dari anak sungai ditemuinya sebuh gua. Diperhatikannya gua itu dengan teliti dan hati-hati. Pen Batang mengendap perlahan- lahan mendekati gua itu. Tiba- tiba dari dalam gua terdengar suara. “Apakah tujuan kakek datang kemari?” tanya suara dari dalam gua. Pen Batang terkejut luar biasa karena suara yang datang menyapanya dari dalam gua itu adalah suara seorang perempuan muda, suara yang lembut dan kedengaran ramah. Pikir Pen Batang jangan-jangan suara itu bukan suara manusia tapi suara mahluk halus penghuni gua itu. Tetapi Pen Batang segera juga menjawab pertanyaan yang datangnya dari dalam gua itu. “Oh….ya. Aku datang kemari untuk berburu rusa”, kata Pen Batang agak ketakutan. “Masuklah dulu ketempatku ini kek”, kata Lala Baka melanjutkan. “Terima kasih nak” kata Pen Batang. Kemudian masuklah Pen Batang ke dalam gua Liang Bedis itu. Lala Baka menerima kehadiran orang tua itu dengan ramah sambil menggendong puteranya. “Kalau aku boleh tahu, Siapakah nama cucuku yang masih bayi inianak ku?” tanya Pen Batang ingin tahu. “Oh…..ya Kek. Cucu Kakek ini namanya Lalu Adal”, jawab Lala Baka. Begitu mendengar nama itu disebut oleh Lala Baka maka Pen Batang segera bersujud di hadapan Lala Baka. “Ampun Yang Mulia. Sekali lagi ampunkan hamba yang telah lancang mengganggu ketenangan Tuan Puteri Yang Mulia”, kata Pen Batang setelah tahu siapa sesungguhnya yang ada di depannya sekarang. Melihat Pen Batang sujud, Lala Baka segera melanjutkan. “Oh. Tenanglah Kek. Hamba adalah manusia biasa. Hamba datang ketempat ini untuk menyelamatkan diri”, kata Lala Baka sambil menarik kakek itu untuk duduk seperti biasanya. Kemudian Pen Batang melanjutkan pembicaraan. “Telah tersebar kabar bahwa Baginda Raja Kerajaan Tana Samawa telah membuang Putri Mahkota kerajaan kesuatu tempat dihutan yang lebat. Peristiwa itu terjadi sekitar tujuh bulan yang lalu. Jadi hamba dapat pastikan Tuan Putri Yang Mulia adalah Putri tunggal Baginda Raja Nuang Sasaih, Raja Tana Samawa ini”, ujar Pen Batang. “Saya mohon pada kakek, untuk jangan sekali-kali membuka rahasia ini kepada siapapun”, kata Lala Baka kepada Pen Batang. “Ampun Tuanku. Hamba akan menjunjung tinggi titah Tuan Putri. Haba tidak akan menceritakan kepada siapapun”, jawab Pen Batang serius. “Baiklah Kek. Tadi kakek mengatakan datang ketempat ini untuk berburu rusa. Apakah kakek sudah memperoleh hasil buruan?” tanya Lala Baka. “Ya. Tuanku. Hamba datang untuk berburu. Tetapi rupanya anjing pemburu yang hamba bawa dalam keadaan lemah sehingga tak seekorpun menjangan atau rusa yang hamba peroleh”, kata Pen Batang menjawab pertanyan Lala Baka. Mendenar jawaban Pen Batang, Lala Baka Permisi sebentar ke bagian dalam gua itu. Maka Lala Baka membisikkan kepada Cincin Permata Birunya itu. “Kakek. Tangkaplah seekor menjangan besar untuk kuhadiahkan kepada kakek pemburu itu”, kata lala Baka memerintahkan kepada Jin Raksasa. Maka keluarlah Jin Raksasa dari Cincin Permata Biru pergi menangkap seekor menjangan besar. Setelah Lala Baka memberikan perintah maka Lala Baka kembali menemui Pen Batang ke teras depan gua. Tak berapa lama kemudian Jin Raksasa telah kembali dengan membawa seekor menjangan besar. “Kek. Itulah menjangannya sebagai pemberian dariku. Silahkan kakek menyembelihnya dan membawanya pulang”, kata Lala Baka. Pen Batang heran menyaksikan kejadian yang aneh itu. Dia semakin menghormati Tuan Putri Lala Baka. Rupanya Tuan Putri ini memiliki kesaktian. “Terima kasih Yang Mulia”, hormat Pen Batang. “Datanglah selalu ketempat ini untuk menjunguk cucu ya kek? Ujar Lala Baka mengharap. “Baiklah yang mulia. Hamba akan selalu datang menjenguk cucu hamba ini”, jawab Pen Batang. “Tetapi saya mohon kepada kakek untuk jangan sekali-kali membuka rahasia bahwa aku berada ditampat ini” Lala Baka meminta. “Hambah bersumpah. Tidak akan hamba katakan kepada siapapun juga”,jawab Pen Batang sungguh-sungguh. “Terima kasih Kek”, ujar Lala Baka singkat. “Kalau begitu hamba pamit Yang Mulia, supaya sebelum hari malam hamba telah sampai ketujuan”, kata Pen Batang berpamitan. Demikianlah kehidupan Pen Batang dari hari kehari mengambil menjangan ke Liang Bedis. Kejadian itu telah berlangsung selama tiga tahun. Karena tingkah laku dan tindak tanduk yang ramah dari Lala Baka sehingga inginlah Pen Batang beserta istrinya untuk tinggal bersama Lala Baka di dalam gua Liang Bedis. Pada tahun 1483 Pen Batang beserta istrinya datang ke Liang Bedis untuk tinggal bersama Puteri Mahkota Kerajaan – Lala Baka. Pen Batang beserta istrinya diterima oleh Putri Mahkota dengan perasaan senang dan gembira. Untuk menjamin kelangsungan hidup Pen Batang maka setiap hari menbawa daging menjangan untuk dijual ke Dusun Senawang, Sebeok, dan Kelawis. Itulah pencaharian Pen Batang selama tiga tahun lamanya.
Perintah Dalam Mimpi
Pada tahun 1486 suatu malam Lala Baka bermimpi diperintahkan oleh leluhurnya untuk pindah dari Liang Bedis menuju arah utara mengikuti arus sungai Brang Sakal, Brang Punik, Brang Kemang Menir, dan Brang Kreto. Setelah Lala Baka sadar dari mimpinya, lalu segera membangunkan Pen Batang beserta istrinya guna menceritakan mimpinya. “Kek. Saya bermimpi bahwa leluhurku memerintahkan hamba untuk pindah dari Liang Bedis ini menuju utara melalui dan menyuusuri aliran sungai Brang Sakal, Brang Punik, Brang Kemang Menir, dan Brang Kreto”, kata Lala Baka menceritakan. “Jika demikian mimpi Tuan Putri maka laksanakanlah. Jangan ragu-ragu”, jawab Pen Batang. “Terima kasih Kek. Kalau begitu maka sebaiknya kita segera saja berangkat pada besok pagi”, kata Lala Baka. Setelah lima hari berjalan Putri Lala Baka beserta putranya Lalu Adal yang masih berumur enam tahun dengan diiringi oleh Pen Batang beserta istrinya; Sampailah mereka di hulu sungai Brang Kreto. Lala Baka tampaknya sudah tidak kuat lagi berjalan. “Buatlah kemah kek. Carilah daun-daun kayu untuk menjadi atapnya untuk tempat tinggal kita bersama”,kata Lala Baka kepada Kakek Pen Batang. “Baiklah Tuan Putri”, jawab Pen Batag. Maka segeralah pen Batang Bekerja keras untuk membuat rumah yang sederhana. (Sampai sekarang tempat itu, oleh masyarakat Lenangguar, Dusun Teladan, Dusun Kuang Jeringo, diberi nama Arung Ramolong). Setelah selama lima belas hari mereka berada di tempat tersebut Lala Baka dikejutkan oleh putranya Lalu Adal yang meminta kepada ibunya untuk diijinkan melihat Kerajaan Tana Samawa. “Ibu. Hamba ingin melihat Kerajaan Tana Samawa, serta ingin menyaksikan Putra Mahkota Kerajaan Tana Samawa secara langsung. Dan hamba ingin melihat Baginda Raja Nuang Sasih yang merajai Kerajaan Tana Samawa itu”, pinta Lalu Adal kepada ibunya Lala Baka. “Oh… anakku Lalu Adal yang kusayangi. Janganlah kamu mimpi sayang. Tidak mungkin kau dapat bertemu dengan Raja Nuang Sasih dan Putera Mahkota. Cita-citamu terlalu tinggi”, jawab Lala Baka kepada puteranya. “Kenapa tidak mungkin Bu?”, tanya Lalu Adal lebih lanjut. “Karena kita ini adalah manusia yang hina dina, lagi pula kau masih kecil sayangku”, jawab Lala Baka menjelaskan. “Bu ijinkanlah aku pergi bu. Kalau ibu tidak mengijinkan maka lebih baik aku mati saja. Aku akan bunuh diri”, kata Lalu Adal kepada ibunya. Mendengar itu Lala Baka sangat masygul. Anaknya itu masih terlalu kecil lagi pula kerajaan itu masih sangat jauh letaknya. Perlu waktu beberapa hari untuk sampai kesana. Selain itu Lala Baka kuatir jangan-jangan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas diri Lalu Adal anak satu-satunya itu. Lama juga Lala Baka berpikir dan menimbang-nimbang. Akhirnya sampailah Lala Baka pada kesimpulan./ “Lalau Adal anakku. Jika kau bersikeras untuk dergi ke Kerajaan Tana Samawa maka ibu akan mengijinkanmu”, kata Lala Baka kepada putranya itu. Maka senanglah hati Lalu Adal. Anak kecil itu bersukaria melompat-lompat tanda gembira. Maka dipeluknya ibunya itu. “Terima kasih Bu” kata Lalu Adal sambil memeluk ibunya. Ibuna merasa sangat bahagia menyaksikan buah hatinya itu dalam keadaan yang gembira. Lala Baka kemudian memanggil Kakek Pen Batang. “Pen Batang, Kemarilah”, panggil Lala Baka. “Daulat Tuan Putri”, jawab Pen Batang. “Cucu kakek ini ingin melihat Kerajaan Tana Samawa secara dekat. Bawalah Cucu kakek kesana dan peliharalah sebaik-baiknya agar dia selamat. Sekarang persiapkanlah suatu bekal untuk diperjalanan”, kata Lala Baka. Pen Batang yang disebut Kakek oleh Lala Baka itupun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Perjalanan menuju Kerajaan Samawa akan dilaksanakan besok pagi. Sementara itu Lala Baka memanggil anaknya Lalu Adal. “Lalu Adal anakku. Besok kau bersama kakekmu Pen Batang akan berangkat menuju ke Kerajaan Tana Samawa. Selama di perjalanan kamu akan bertemu dengan banyak orang. Bersikaplah yang baik dan sopan” kata Lala Baka memberikan nasehat kepada Lalu Adal. “Baik Bu, hamba akan selalu melaksanakan nasehat ibu”, jawab lalu adal. Kemudian Lala Baka meneruskan pembicaraan. “Apabila nanti ada orang yang mengganggumu atau ada bahaya yang akan mengancam maka perlihatkan cincin permata biru ini, niscaya bahaya dan ancaman atau musuh akan musnah. Ambillah cincin ini anakku”, kata Lala Baka sambil memberikan cincin itu kepada anaknya. “Terima kasih Bu”, kata Lalu Adal sambil menerima cincin itu dan dipasangkan pada jari manisnya. Cincin itu memang ajaib, karena selalu pas di jari orang yang memakainya. Keesokan harinya, pagi-pagi benar Lalu Adal telah bangun menunggu saat keberangkatannya. Ia tampak sangat gembira. Dimasukkan bekal makanan diperlukan selama dalam perjalanan. Ketika matahari sudah sepenggal naik maka Lalu Adal beserta Kakeknya Pen Batang berangkat menuju Kerajaan. “Selamat Jalan Pen Batang dan selamat jalan Putraku”, kata Lala Baka mengiring keberangkatan putranya itu. “Selamat tinggal Bu. Doakan hamba dalam perjalanan ini”, kata Lalu Adal sambil melambaikan tangannya kepada ibunya . Lala Baka memandang terus kepada anaknya dan Pen Batang yang telah mulai melangkah sampai mereka hilang dari pandangannya. Dalam hatinya Lala Baka terus memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar anaknya terlindung dalam perjalanan. Pen Batang beserta Lalu Adal berjalan naik gunung turun gunung. Akhirnya sampailah mereka dipadang rumput yang luas yang bernama Lenang Lengan. Disitulah dulu Lala Baka pernah beristirahat ketika dalam perjalanan menuju ke Liang Bedis. Pen Batang dan Lalu Adal beristirahat dan menginap di Lenang Lengan itu. Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan menuju Kerajaan Tana Samawa. Mereka melalui jalan antara Olat Utuk dan Olat Lawang, yang merupakan pintu gerbang jalan dari Sumbawa ke Orong Telu. Singkat cerita setelah berjalan tujuh hari lamanya sampailah Pen Batang dan Lalu Adal di Tiu Sepadang artinya tempat menghadang. Yang dimaksud bukan menghadang musuh, tetapi tempat masyarakat Kerajaan Tana Samawa menunggu kedatangan masyarakat dari Lunyuk, Orong Telu, dan Batulante untuk tukar menukar barang karena pada masa dulu cara berdagang dengan cara barter. Jadi Tiu Sepadang merupakan pasar bagi Kerajaan Tana Samawa.
Kesaktian Cincin Permata Biru
Pen Batang dan Lalu Adal masuk ke sebuah gubug, sambil menyaksikan para pedagang tukar menukar barang. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suar seruling dan gendang bertalu-talu menuju Tiu Sepadang. Lalu Adal mendengar suara bunyi-bunyian itu dan lantas bertanya kepada Kakeknya. “Suara apakah itu kek?”, tanyanya kepada kakeknya. “Kata orang yang ramai berdagang ini, Putera Mahkota Kerajaan Tana Samawa turun mandi guna menghibur diri”, kata Pen Batang kepada Lalu Adal. “Wah. Alangkah bahagianya menjadi Putra Raja ya Kek?”. Kata Lalu Adal. “Benar Cucuku”, jawab Pen Batang. Suara bunyi-bunyian itu semakin keras. Tidak lama kemudian tampaklah dari kejauhan iring-iringan kereta kencana dan orang-orang yang berpakaian bagus. Lalu Adal memandang dengan penuh keheranan. Kemudian. “Apakah itu kek?”, sambil menunjuk kepada kereta kencana. “Itu adalah kereta kencana, yang merupakan kereta yang dipergunakan untuk membawa Putra Makota ke sungai atau kemana saja Putra Mahkota itu akan pergi”, jawab Pen Batang. “Oh. Jadi orang yang ada di dalam kereta kencana itu adalah Putra Mahkota?” tanya Lalu Adal lebih lanjut. “Ya” jawab Pen Batang singkat. “Siapakah pula manusia yang banyak di belakang kereta kencanan itu kek. Dan mereka berpakaian yang bagus sekali”, tanya Lalu Adal lebih lanjut. “Itu adalah Patih, Panglima, Punggawa, yang merupakan pembesar kerajaan, dan mereka diiringi oleh bala tentara Kerajaan guna menjaga keamanan Putra Mahkota”, jawab Pen Batang. “Bahagia sekali menjadi Putra Raja, jauh sekali cara hidupnya dengan rakyat jelata”, kata Lalu Adal mengomentari. Putra Mahkota turun dari kereta kencana untuk mandi, menghibur diri, bersenang-senang dengan para menteri serta para menterinya. Lalu Adal memandang terus kepada rombongan Putra Mahkota itu. Dalam hatinya saatnya sekarang untuk mencoba kesaktian Cincin Permata Biru miliknya. “Kek. Ambil Putra Mahkota dan bawa terbang setinggi pohon kelapa”, perintah Lalu Adal kepada Jin Raksasa. Tidak lama kemudian keluarlah Jin Raksasa mengambil Putra Mahkota yang sedang mandi. Putra Mahkota itu dibawa terbang setinggi pohon kelapa. Terbang kesana kemari sesuai dengan perintah dari Lalu Adal. Melihat peristiwa itu maka paniklah semua pengawal. Semua bala tentara berusaha menyelamatkan putra Mahkota tetapi mereka jatuh tunggang langgang terlempar karena didorong oleh jin raksasa. Para Mentri dan Punggawa menjadi panik karena Putra Mahkota tetap melayang-layang setinggi pohon kelapa. Mereka kuatir kalau-kalau putra Mahkota terlempar jatuh dan tewas terbentur batu-batu yang banyak di sungai itu. Ditengah-tengah kepanikan tersebut Lalu Adal bertindak. Memerintahkan Jin Raksasa Untuk membawa Putra Mahkota kedepannya. Jin Raksasa segera membawa Putra Mahkota kepada Lalu Adal. Kemudian Lalu Adal menyerahkan Putra Mahkota itu kepada pati. “Terima kasih anak ku. Kau telah dapat menyelamatkan Putra Mahkota dari bahaya maut. Jika kau tidak ada tentu Putra Mahkota telah tewas. Maka celakalah kami semua, karena pastilah Baginda Raja akan murka”, kata patih kepada Lalu Adal. Atas kejadian dan peristiwa itu pihak pengawal Putra Mahkota tidak ingin berlama-lama ditempat itu. Mereka segera pulang kembali ke kerajaan. Mereka khuatir jangan-jangan Jin Raksasa itu kembali mengganggu Putra Mahkota. Sesampainya di Istana mereka segera menyampaikan peristiwa yang telah terjadi. “Ampun Yang Mulia. Putra Mahkota Kerajaan hampir saja tewas dibawa terbang oleh Jin. Bala bahtera kerajaan telah berusaha menyelamatka Putera Mahkota. Tetapi usaha mereka sia- sia karena kekuatan Jin itu sungguh dahsat di tengah- tengah kepanikan itu, Muncul seorang anak kecil kira- kira berumur enam tahun. Anak kecil itulah yang berhasil menyelamatkanPutera Mahkota dan menyerahkanya kepada hamba “, Kata Patih melaporkan kapada Baginda Raja. “ Dimana anak tersebut ?”. tanya baginda Raja. “ Di Tiu Sepadang Yang Mulia”. Jawab Patih. “ Ambil anak tersebut dan bawa diakemari “, titah Raja. “ Daulat Tuanku, hamba akan laksanakan “, jawab Patih. Segeralah Patih menuju Tiu Sepadang guna menemui Lalu Adal yang telah menyelamatkan Putera Mahkota dari bahaya maut. Sesampainya di Tiu Sepadang Patih segera mencari dan menemui Lulu Adal. “Hai anak kecil . Saya diperintahkan oleh Paduka Yang Mulia untuk membawamu menghadap ke Istana guna memperkenalkan dirimu kepada Raja “, kata Patih Kepada Lalu Raja. Wahai Patih. Sampaikan Salamku Kepada Raja. Aku tak ada keperluan untuk menghadap Raja . Tetapi kalau Raja ada keperluan padaku , datanglah Raja menghadap kepadaku “, Kata Lalu Adal. Patih yang diutus oleh Baginda Raja sangat kesal. Lebih- lebih mengingatkata-kata yang diucapkan oleh anak kecil itu sungguh sangat menghina. Tetapi Patih tidak dapat berbuat banyak selain harus pulang dengan tangan hamba . Tetapi apa yang diucapkan oleh anak kecil itu tetap akan di sampaikan kepada baginda Raja Yang Mulia. “ Mana anak kecil itu Patih ?, tanya Baginda ketika Patih datang menghadap. “ Anak kecil tersebut membangkang Yang Mulia. Katanya aku tidak ada. Keperluan dengan Raja . Bila Raja ada keperluan denganku maka menghadaplah Raja kepadaku. Demikaian kata anak kecil itu Baginda “, lopor Patih kepada Baginda Raja Nuang Sasih. Raja Nuang Sasih sangat murka. Tidak pernah ada orang sebelumnya yang berani membangkang atas perintahnya. “Kurang ajar ! Akan kuberi pelajaran anak tersebut. Siapkan Kereta Kencana “ kata Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih. Maka segeralah Kereta Kencana di siapkan. Berangkatlah Yng Mulia menuju Tiu Sepadang, dengan diiringi Bala Tentara Kerajaan untuk menghukum anak kecil yang membangkang itu. Setibanya di Tiu Sepadang. Patih menunjukkan si anak kecil yang akan di hukum itu. :”Hai anak kecil ! Terlalu kurang ajar kau. Sekarang akan kuberi pelajaran padamu ! “, kata Raja membentak. “ Wahai Raja yang mulia ! Sekiranya Raja masih memiliki rasa malu Raja tidak akan berlaku seperti ini terhadap ku. Tetapi jika Raja tetap bermaksud menghukummu maka akupun terpaksa melawan “, jawab Lalu Adal dengan mantap. “ Ketahuilah wahai anak kecil !. Tak seorangpun yang berada di wilayah kekuasaanku ini yang berani yang membangkang atas apa yang telah aku perintahkan sekarang kau berani melawanku maka aku pun terpaksa menghukummu “, kata Raja Nuang Sasih Murka. Sejurus kemudian Raja Nuang Sasih yang juga memiliki kesaktian yang tinggi telah bessiap untuk menyerang. Sedangkan Lalu Adal juga memperhatikan gelagat bahwa Raja tidak main-main dan telah siap untuk menyerang dirinya. Kemudian Lalu Adal mengangkat lengannya dan mengarahkan Cincin Permata Biru pembelian Ibunya itu ke arah Raja. Lalu Adal telah siap untuk menyerang dirinya . Kemudian Lalu Adal menangkat lengannya dan mengarahkan Cincin Permata Biru pembelian Ibunya itu kearah Raja. Lalu Adal telah siap untuk memberikan perintah kepada cincinya itu. Pada saat Cincin Permata Biru itu diarahkan kepada Raja tampaklah oleh Raja Sinar kebiru- biruan memancar dari cincin itu. Sinar itu seakan-akan mengandung kekuatan yang luar biasa . Sekujur tubuh Baginda Raja Nuang Sasih gemetar seolah-olah tenaga yang dimikianya telah habis. Dalam keadaan seperti itu Baginda Raja Nuang Sasih bertanya dalam hatinya, siapakah gerangan anak kecil yang sakti ini. Lalu Baginda turun dari Kereta Kencana seraya bertanya. “ Wahai anak kecil. Kepunyaan siapakah cincin itu ?” tanya Bagiinda Raja. “ Cincin ini berada di tanganku maka berarti cincin ini adalah milikku !” jawab Lalu Adal. “ Dan dimanakah Ibumu ?”, tanya Raja Nuang Sasih selanjutnya. “ Ibuku telah meninggal dunia !” jawab Lalu Adal merahasiakan tentang ibunya. Tampaknya Raja Nuang Sasih telah mengetahui bahwa anak kecil yang ada di hadapannya itu tidah lain adalah cucunya putera dari lala baka yang selama tujuh tahun telah di buang ke hutan belantara disebuah gua yang bernama Liang Bedis. Raja Nuang Sasih mendekati cucunya itu kemudian bertanya. “ Wahai anak kecil siapakah namamu dan siapakah nama Ibumu ?” tanya Raja Nuang Sasih untuk memantapkan keyakinannya. “ Namaku Lalu Adal dan Ibuku bernama Lala Baka “, jawab Lalu Adal Polos. “ Maka langsung saja Baginda Raja Nuang Sasih memeluk Lalu Adal. “ Oh. Kau adalah cucuku. Maafkanlah aku cucuku. Aku adalah kakekmu !” kata Baginda Raja. “ Sekarang Cucuku ikuti aku kau tinggallah di Istana Kerajaan “ lanjut Raja mengajak cucunya. “ Hamba mau ke istana, tetepi bawalah kakemu Pen Batang, karena beliaulah yang telah merawat dan memeliharaku beserta Ibuku “, kata Lalu Adal. Maka berangkatlah Lalu Adal beserta Pen Batang dengan menaiki Kereta Kencana bersama Raja Nuang Sasih. Sesampainya di istana, penuh sesak oleh rakyat yang ingin menyaksikan putera Lala Baka.. Mengetahui rakyatnya penuh sesak di Istana maka Raja Nuang Sasih barsabda. “ Wahai seluruh rakyatku. Anak kecil yang duduk di haribaanku ini adalah cucuku bernama Lalu Adal. Dan orang tua yang ada di sampingku ini adalah Batang. Dialah yang telah memelihara Lala Baka dan cucuku Lalu Adal di tempat pembuangan Liang Bedis.” Suasana kerajaan memang ramai selama beberapa hari. Lalu Adal merasa sangat senang melihat-lihat istana yang indah. Dia sangat disayangi oleh keluarga istana. Baginda Raja Nuang Sasih nampaknya ingin segera mengetahui dengan pasti bagaimana keadaan Putri Mahkota Lala Baka. Pada suatu pagi yang cerah Baginda Raja memanggil Pen Batang untuk berbincang-bincang tentang kehidupan Lala Baka selama dalam perawatan Pen Batang. “Wahai Pen Batang. Apakah benar putriku Lala Baka telah meninggal ?.Ataukah masih hidup?”, tanya Raja Nuang Sasih. “Ampun yang Mulia. Putri Mahkota Kerajaan masih hidup. Sekarang Tuan Puteri berada di Arung Ramolong , tepatnya di Paruwak Dope Ramas dan dalam keadaan yang sehat”,jawab Pen Batang. “Oh,jadi putriku masih hidup?jika demikian maka putriku itu harus segera dijemput”,sambung Raja Nuang Sasih. Mengetahui bahwa tuan puteri masih hidup dan sehat ,maka Raja Nuang Sasih segera memerintahkan kepada patih kerajaanuntuk menjemputnya . Penjemputan itu dilaksanakan pada hari itu juga. Dalam penjemputan itu Baginda Raja Nuang Sasihikut serta. Setelah segala sesuatu dipersiapkan, maka berangkatlah Yang Mulia Raja Nuang Sasih diiringi oleh patih dan panglima kerajaan beserta pasukan tentara menuju ke Arung Ramolong.Perjalanan rombongan mengikuti daerah aliran sungai Brang Biji ke huludan membelok ke arah Dusun Kareke. Pada hari ke-tujuh sampailah rombongan di Lenang Lengan yaitusebuah padang rumput yang luas. Mereka beristirahat sebentar , kemudian melanjutkan perjalanan menuju Arung Ramolong melalui Paruwak Dope Ramas. Tidak lama kemudian sampailah rombongan kerajaan di Arung Ramolong , tepatnya tempat Lala Baka berada sekarang di Paruwak Dope Ramas. Baginda Raja melihat ada sebuah gubuk dekat sungai Brang Kreto. Di dalam gubung , Lala Baka dan Nenek (istri Pen Batang). Sedang bercakap-cakap.Tiba-tiba mereka berdua melihat ke arah datangnya rombongan . “ Rombongan apakah kiranya yang menuju ke tempat kita ini Nek? “, tanya Lala Baka. “ Kalau aku tidak salah lihat, bukankah anak yang ada dalam juli (usungan) itu adalah cucuku Lalu Adal”, kata sang Nenek. “ Benar Nek. Ini cucu Nenek. Dan yang sebelahnya adalah ayahanda tercinta Raja Nuang Sasih Raja Kerajaan Tanah Samawa. Apakah gerangan tujuan Yang Mulia datang ke tempat ini Nek ?”, kata Lala Baka diliputi berbagai macam tanda tanya. “ Entahlah anakku. Hamba tidak tahu”, jawab sang nenek. Sesampainya di kediaman segera saja Raja Nuang Sasih menemui Puteri Mahkota. Mereka berpeluk-pelukan melepas kerinduan. Selama tujuh tahun mereka berpisah, tidak disangka dan tadak dikira mereka akan dapat bertemu lagi. Lala Baka telah menjalani hukuman yang di kenakan kepadanya oleh ayahnya itu. mestipun hukuman itu tidak di sebutkan kapan akan berakhir, namun Baginda Raja sudah tidah mempermasalahkanya lagi. Pepatah mengatakan, “ Sebuas-buasnya harimau tidak akan memakan anaknya “. Demikian pula halnya dengan Raja Nuang Sasih. Sekejam-kejamnya seorang ayah suatu saat akan datang juga kebijaksanaannya yang dilandasi perasaan kasih sayang kepada anaknya. “Maafkan aku nak! Aku telah menghukummu selama tujuh tahun. Kumohon padamu janganlah menaruh dendam padaku”, kata Raja Nuang Sasih kepada putrinya itu. “Ampun Yang Mulia. Hamba sadar bahwa hambalah yang bersalah. Maafkan dan ampunilah hamba.Dan hamba sangat beterima kasih kepada Yang Mula”,kata Lala Baka sambil menitikkan air mata tanda terharu. Pertemuan antara orangtua dan anaknya itu begitu mengharukan. Semua yang menyaksikan merasa terharu dan meneteskan air mata. Meraka berdua antara Raja NUang Sasih dan Lala Baka sebagai Puteri Mahkota memang sangat dicintai rakyatnya. Raja yang adil telah memberikan kesejahteraan kepada selurh rakyathidup dalam keadaan aman dan tantram. Wahai Puteriku! Aku datang kemari untuk menjemputmu dan membawamu ke Istana Kerajaan Sumbawa.Ibunda Permaisuri sagat merindukanmu. Demikian pula rakyatku sudah sangat merindukanmu untuk hadir kemali di engah-tengah merka”,kata Raja Nuang Sasih kepada Pueri Mahkota. “Baiklah Padka Ayahanda”.jawab Lala Baka singkat . Maka berangkatlah rombongan kembali menuju kerajaan Tana Samawa dengan perasaan gembira dan sukacita. Beberapa lama kemudian sampailah rombongan di padang rumput lenang lengan. Di tempat itu Lala Baka memohon kepada Yang Mulia untuk berhenti sejenak. “ Ampun Yang Mulia Hamba mohon kepada yang Mulis. Kiranya hamba tidak diizinkan oleh leluhur untuk dapat melanjutkan perjalanan ke Tana Samawa. Kiranya padang Rumput inilah yang akan menjadi kampung halaman hamba kata Tuan Puteri. Nampaknya dalam perjalanan itu Lala Baka mendapat bisikan dari arwah leluhernya yang tidak mengijinkannya untuk pergi ke Tana Samawa. Dan Arwa leluhur memerintahkannya untuk bertempat tinggal di Lenang Lengan itu. Dalam kepercayaan hindu pantang untuk melanggar perintah leluhur. Nampaknya Raja Nuang Sasih memaklumi hal itu. “Wahai putriku. Jika itu merupakan perintah leluhur kita maka aku tidak akan menolak permintaanmu. Tinggallah di tempat ini sebagai kampung halamanmu. Cuma apabila cucuku kelak akan memegang Payung Serep Edang maka cucuku akan kuangkat menjadi Meke Serep”, sabda Baginda Raja kepada putrinya. Akhirnya seluruh masyarakat Lenangguar, Tatebal, Late, Ledang, Ramurung, Pamangong, Kuang Jaringo, Teladan, Gunung Setia, menamakan tempat tersebut Suka Mulia. Sekarang ini para seniman dan budayawan Desa Lenangguar mendirikan sanggar Seni Budaya Tana Samawa : Sanggar Suka Mulia Desa Lenangguar Kecamatan Ropang untuk mengabadikan dan melestarikan nama Suka Mulia sebagai bagian dari sejarah masa lampau. 

Lala Buntar (Lala Bunte)

Cerita Rakyat :

Pada zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Silang, letaknya kira – kira 35 kilometer sebelah timur Sumbawa sekarang, tepatnya di Desa Pemasar di Kecamatan Plampang. Raja Silang mempunyai seorang Putri yang sangat rupawan yang bernama Lala Buntar atau Lala Bunte panggilan akrabnya. Diberikan nama demikian oleh ayahnya karena parasnya yang elok dan rupawan bagaikan Bulan Purnama ( Buntar dalan Bahasa Sumbawa berarti Purnama ).

Disamping parasnya yang rupawan Lala Bunte juga sangat boto ( boto berarti terampil ) Salah satu keterampilannya adalah keahlian menenun kain. Kain tenun hasil tenunannya sangat indah dengan motif – motif khas yang mempesona, dan tenunannya itu sangat baik kualitasnya. Hal ini membuat nama Lala Bunte semakin terkenal ke seluruh pelosok negeri. Karena keterampilannya itu sang ayah yang sangat menyayangi Lala Bunte memberika hadian kepada putrinya, berupa seperangkat alat tenun terbuat dari emas.
Mendengar berita tentang Lala Bunte banyaklah putra – putra raja bahkan raja – raja yang ingin melamar untuk dapat mempersunting Lala Bunte. Pada suatu hari Raja Silang kedatangan beberapa orang tamu. Ada yang datang dari kerajaan yang ada di Pulau Sumbawa, dan bahkan daru luar Sumbawa antara lain dari kerajaan Gowa.
Mereka semua bermaksud sama yakni datang untuk meminang Lala Bunte. Hal yang demikian itu membuat bingung Raja Silang, terlebih – lebih semua tamu yang datang masing – masing bersikeras agar niat mereka dapat dikabulkan.Suasana yang tadinya dirasa akrab berubah menjadi panas. Bahkan satu sama lain dari tamu tersebut sudah saling tantang untuk melakukan adu fisik dan kesaktian.
Melihat keadaan seperti itu, raja Silang berusaha untuk menenangkan keadaan, dengan cara yang bijaksana. Raja Silang mengambil keputusan bahwa permintaan dari tamu – tamunya tidak ada yang diterima maupun ditolak, karena terlebih dahulu akan dirembug dengan segenap keluarga dan para penasehat termasuk dengan Lala Bunte sendiri. Raja menetapkan waktu satu minggu untuk memberi keputusan. Kesempatan satu minggu itupun digunakan oleh Raja Silang untuk bermusyawarah.
Pada malampertama dilakukannya musyawarah Raja Silang meminta pendapat putrinya Lala Bunte sebagai putri satu – satunya itu. Lala Bunte ternyata memiliki pendapat yang sama sekali berbeda dengan yang diharapkan oleh keluarganya. Semua yang hadir dalam pertemuan itu terperanjat dengan keinginan Lala Bunte untuk pergi meninggalkan kerajaan agar perpecahan yang bakal terjadi dapat dihindari. Lala Bunte berfikir bahwa dengan perginya dirinya dari kerajaan akan dapat mencegah terjadinya pertumpahan darah karena yang diperebutkan sudah tidak ada lagi.
Keputusan Lala Bunte sudah pasti tidak ada yang dapat merubahnya. Dengan berat hati akhirnya seluruh keluarga menyetjui permintaan Lala Bunte. Dengan diiringi oleh para Jowa Perjaka ( para pendamping/pengikut), keesokan harinya berangkatlah Lala Bunte meninggalkan kerajaan, meninggalkan istana, dan meninggalkan ayah ibunya. Lala Bunte pergi menuju ke satu tempat untuk mengasingkan diri. Dalam kepergiannya itu Lala Bunte membawa serta peralatan tenunnya yang terbuat dari emas.
Dalam perjalanannya Lala Bunte sempat berfikir bahwa kemanapun dia pergi sepanjang masih dilihat orang maka dirinya tetap akan diperebutkan. Oleh sebab itu, tidak terlalu jauh dari kerajaannya, Lala Bunte meminta kepada pengikutnya untuk berhenti. Dalam perhentiannya itu Lala Bunte meminta kepada pengikutnya untuk membuat timbunan batu dan tanah. Timbunan tersebut dibentuk menyerupai bukit. Di tengah – tengah timbunan tersebut terdapat ruangan yang ditempati oleh Lala Bunte bersama pengikutnya. Dipuncak timbunan tersebut dibuatkan lubang dengan maksud agar Lala Bunte dan pengikutnya yang ada didalam timbunan itu dapat bernafas. Salah seorang pengikutnya tetap berada diluar timbunan itu yang bertugas untuk menjemput makanan dari Istana Kerajaan guna keperluan Lala Bunte.
Satu Bulan lamanya Lala Bunte di dalam timbunan tanah dan batu yang meyerupai bukit itu menerima makanan yang diantarkan oleh pengikutnya.Pada suatu saat setelah itu, Lala Bunte dan pengikutnya didalam sudah tidak lagi muncul untuk menerima pasokan makanan.Pelayan yang betugas memasukkan makanan itu berfikir tentunya Lala Bunte beserta pengikutnya yang ada didalam timbunan tanah dan batu itu telah meninggal.Oleh pelayanan yang ada di luar, akhirnya lubang yang ada di puncak bukit tersebut ditutup dan dibuatkan kuburan diatasnya. Sampai sekarang kuburan tersebut dapat dilihat tepat di atas sebuah bukit kira – kra 5 km dari Desa Pemasar Kecamatan Plampang.
Pernah dua kali kuburannya ingin dibongkar oleh orang yang mengharap dapat mengambil emas – emas yang dibawa Lala Bunte beserta pengikutnya akan tetapi selalu gagal. Mereka yang mencoba untuk mengambilnya selalu berhadapan dengan peristiwa alam yang keras seperti hujan lebat,kilat dan petir yang menyambar debu yang beterbangan dan lain – lain peristiwa alam yang menyeramkan.
Sumber : M. Nur Syiraj

Jompong Suar

Cerita Rakyat :
Ratusan tahun yang lalu tersebutlah seorang pemuda bernama Jompong Suar wajahnya tampan tubuhnya kekar berisi walaupun umurnya baru menginjak lima belas tahun. Dari penuturan orang, keluarga Jompong Suar adalah keluarga pendatang. Mereka bukan asli dari desa itu. Ayahnya bernama Pandelala dan ibunya dipanggil orang Dendelawi. Dahulunya mereka hanya sekedar mengungsi akibat terusur dari tempat asalnya.Jompong Suar tiada beradik kakak. Ia adalah anak tunggal. Tidak mengeherankan kalau ia menjadi anak yang manja. Permintaannya kerap dikabulkan, hampir tidak pernah ditolak. Kepadanya harapan masa depan orang tuanya ditumpahkan.
Namun pada diri Jompong Suar terdapat watak yang kurang baik. Ibarat kata pepatah, tiada gading yang tak retak. Ia suka sekali mengganggu anak-anak sepantarannya. Tak jarang menampar dan memukuli anak – anak seumurnya. Kelakuannya tidak saja mengusik, tetapi bahkan merampas dan menjarah sesuatu yang bukan miliknya. Akibatnya teman sebayanya menyingkir dan menjauhinya.
Tentang kelakuan Jompong Suar yang tidak baik itu telah banyak diberitahukan orang kepada ayahnya. Tetapi ayahnya tak pernah mengindahkan. Bahkan Pandelala justru mengelak tuduhan itu dan selalu membela Jompong Suar.
Ketua adat di desa setempat mencela sikap Pandelala. Tentang sikapnya itu mereka semua berujar, “Pandelala adalah sosok orangtua yang tidak bijaksana. Sikap yang harus dihilangkan pada setiap orang, yakni membela yang salah pada gilirannya kebatilan bertambah subur. Kebenaran semakin luntur. Benar dan salah saling membentur. Keadilan makin terkubur, hati nurani menjadi hancur. Sikap itu harus dihentikan,” demikian tekad mereka.
Tetapi tabiat Jompong Suar tak kunjung berubah walaupun berkali – kali mendapat teguran dan diingatkan orang kepadanya.  Warga desa setempat menyindir,”kecil teranja – anja, besar terbawa – bawa. Setelah tua takkan berubah”.
Demikian pulau keluh kesah para orang tua,”Tak dibilang jadi binasa, dibilang juga jadi bencana”. Karena tak tahan lagi maka mufakatlah beberapa orang kampung untuk melaporkan kelakuan buruk Jompong Suar kepada Sang Raja.
Kedatuan (kerajaan) Sadiwangi mempunyai wilayah cukup luas. Ke Utara sampai ke Ai Sempang yaitu desanya Jompong Suar. Sedang ke selatan berkesudahan dengan pantai laut. Kedautan ini diperintah oleh seorang Datu (Raja) yang bernama “Buntar Buana”.
Baginda raja dikenal tegas dalam pendiriannya. Keamanan dan ketenteraman rakyatnya adalah masalah utama yang sangat menjadi perhatian raja. Siapa saja yang berbuat onar atau kerusuhan, pertengkaran, perampokan, baginda raja tidak segan – segan memberikan hukuman berat terhadap pelakunya. Baginda menginginkan agar rakyatnya dapat melakukan setiap usaha mereka dengan perasaan tenang tiada dihantui rasa takut dan was – was. Sistem keamanan lingkungan sangat diperkuat. Lebih – lebih setelah peristiwa sedih menimpa istana.
Sekitar setahun yang lalu putri bungsu baginda yang bernama Mandang Wulan hilang dari istana. Tidak diketahui ke mana perginya. Apakah dilarikan orang atau telah tewas, tiada seorang pun yang tahu. Ke seluruh penjuru kerajaan telah dilakukan pencarian, namun tak seorang pun yang dapat memberikan petunjuk di mana Mandang Wulan berada. Inilah yang membuat baginda raja selalu masygul.
Pada suatu petang yang cerah tiada awan selembarpun menutupi langit. Angin semilir menerpa dedaunan menambah kesejukan di sore itu. Paduka raja bersama beberapa hulubalangnya sedang asyik berbincang – bincang. Baginda raja selalu berharap agar seluruh penghuni istana tetap berupaya menemukan putri Mandang Wulan, hidup atau mati. Dan jika ditemukan supaya dibawa pulang ke istana.
Tiada lama setelah bincang – bincang selesai, masuklah seorang penjaga istana dan langsung menghadap baginda. Setelah menghatur sembah, penjaga istana itupun berkata.
“Hamba datang untuk melaporkan bahwa di luar istana ada empat orang tamu yang ingin menghadap baginda,” kata penjaga istana.
“Bawalah mereka masuk”. Jawab baginda singkat
Setelah empat orang tamu itu bersimpuh di depan raja, salah seorang berkata,”Ampun tuanku. Hamba berempat datang dari tempat yang jauh dengan maksud mohon perlindungan baginda yang mulia,” katanya dengan nada penuh harap.
Sambil memandang kepada tamu itu, bagindapun berkata. “Dari manakah kalian berempat ini ? Dan apa maksud kalian datang ke istan petang – petang begini ? Jika ada kabar penting sampaikanlah, mungkin dapat segera diselesaikan,” ujar paduka raja.
“Benar tuanku. Hamba datang dari Desa Ai Sempang, yaitu desa di ujung utara kerajaan baginda. Adapun maksud kedatangan hamba dan kawan – kawan adalah untuk melaporkan bahwa di desa kami ada seorang pemuda bernama Jompong Suar yang selalu menggangu ketentraman di desa kami dan juga ketentraman anak – anak kami.  Mohon perlindungan tuanku,” ungkap pemuda itu.
Mendengar laporan tersebut , paduka raja berucap. “Baiklah laporan kalian aku terima. Dan aku percaya bahwa kamu semua benar dan tidak berbohong. Besok pemuda itu akan kupanggil. Dan sekarang kamu berempat pulanglah,” pinta baginda raja.
Setelah itu keempat orang yang melapor itu pun keluar meninggalkan istana pulang kembali ke Ai Sempang.
Keesokan harinya tatkala sang surya naik sepenggalah, dibawalah Jompong Suar beserta ayahnya menghadap paduka raja. Ibarat pesakitan di depan hakim, keduanya duduk bersimpuh.Tiada berapa lama Paduka Raja berucap. “Hai kalian berdua. Manakah di antara kalian yang bernama Jompong Suar,” tanya baginda. Kemudian Jompong Suar memandang baginda dan menjawab. “Ampun tuanku, hambalah yang bernama Jompong Suar dan inilah ayah hamba bernama Pandelala,” terang Jompong Suar.
Baginda raja memandang tajam kepada kedua tamunya itu. Baginda kemudian berucap. “Dengarkanlah oleh kalian berdua. Ketenteraman adalah idaman semua orang. Perusuh dan penjarah adalah musuh semua orang pula. Beberapa orang telah datang ke istana melaporkan kelakuan yang tidak terpuji dari seorang pemuda. Baginda raja lalu berhenti sejenak. “Jompong Suar, engkau adalah perusuh, perampok, bahkan besok kamu akan menjadi pembunuh yang kejam. Engkau telah bersalah besar. Dan terhadap kesalahanmu, mulai hari ini juga engaku kuperintahkan untuk mencari dan membawa ke istana sebatang bambu berbatang perak, berdaun emas dan berbunga intan. Itulah hukumanmu sebagai perusuh. Bila kau mendapatkannya aku akan memberiakan hadiah sangat berharga kepadamu. Tetapi jika engkau kembali dengan tangan hampa, maka hukuman lebih berat lagi akan kau terima,” pinta Baginda.
Bagai petir menyambar di siang bolong setelah Jompong Suar mendengar putusan sang Raja. Hampir saja ia jatuh pingsan. Untung ayahnya cepat memegang pundaknya. Ia bangkit dari tempat duduknya setelah tangannya diangkat untuk segera pergi dari ruangan itu.
Dalam perjalanan pulang, tak henti – hentinya Jompong Suar menghela nafas pertanda kesal atas putusan yang dijatuhkan kepadanya. Sekali-kali ia mengeluh memikirkan hukuman yang berat itu. Ayahnya segera menenangkannya. “Wahai anakku, sabarlah menerima putusan itu. Yakinlah di balik kesulitan akan datang kemudahan,” imbau ayahnya.
“Memang benar apa yang ayah katakan dan anakda akan rela menghadapi cobaan ini. Hanya saja hukuman ini terlalu kejam, tidak adil dan tidak sebanding dengan kesalahan yang anakda lakukan,” ujarnya dengan nada kesal.
“Sudahlah nak, tidak baik terlalu menyesali nasib. Ketahuilah anakku , sang Raja sungguh sangat kuasa. Dan karena kekuasaannya seringkali memberikan putusan yang tidak didasarkan atas pertimbangan, tetapi kadang – kadang lebih kepada kepentingan. Sebaiknya segera saja kau laksanakan,” bujuk ayahnya.
Pada suatu pagi sebelum matahari terbit, Jompong Suar ke luar dari rumahnya setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya. Dipeluknya ayah dan ibunya. Lepas dari pelukan kedua orangtunya. Jompong Suar sekali lagi membungkuk memberi hormat kepada orangtua yang dicintainya itu. Sekarang Jompong Suar telah memulai pengembaraanya. Sang ayah mengiringi dengan doa. Sedang ibunya tak kuasa menahan tangis sambil memikirkan nasib yang akan menimpa anaknya. Kedua orangtua itu terus mengiringi keberangkatan anaknya dengan pandangan mata, sampai akhirnya Jompong Suar tak terlihat lagi. Kedua orangtua itupun kembali masuk rumahnya.
Hari demi hari, minggu berganti minggu dan minggupun berganti bulan telah banyak desa didatanginya mencari berita tentang bambu emas itu. Setiap bertemu orang selalu ditanyainya, namun belum seorangpun dapat menunjukinya. Bahkan banyak yang menyatakan keheranannya mendengar putuan raja yang diberikan kepadanya.
Kini Jompong Suar memutuskan untuk mengembara ke hutan rimba di mana pohon bambu banyak tumbuh. Boleh jadi bambu emas itu dapat ditemukan di antara rumpun bambu yang banyak itu. Tak terhitung bukit yang sudah didaki, tak terbilang lembah yang sudah dituruni, namun nasibnya belum beruntung. Sekarang badannya terasa sangat letih. Makanan yang sempat dibawanya telah lama habis. Perutnya hanya diisi buah – buahan yang dipetiknya dari pohon – pohon kayu di hutan. Tiada uang yang diberikan ayahnya, kecuali hanya sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Di bahunya tergantung sebuah kantong kecil berisikan selembar kain untuk pembalut tubuh tatkala kedinginan.
Tiga purnama sudah dilalui, namun belum juga ada tanda – tanda dapat menemukan apa yang dicarinya. Untunglah tiada seekorpun binatang buas yang menggangu dalam pengembaraannya. Dalam berbagai kesulitan itu, Jompong Suar tiada berputus asa. Teringat selalu pesan ayahnya bahwa di balik kesulitan akan datang kemudahan. Kalimat ini membuat jiwanya semakin hidup, tulang belulangnya semakin kokoh dan langkahnya kian mantap. Dalam dirinya tumbuh tekad. Semboyannya adalah jauh berjalan banyak dilihat jauh merantau banyak di dapat. Segar dalam ingatannya pepatah yang mengatakan,”Berlayar sampai ke pulau, berjalan sampai ke batas,”.
Pada suatu siang di tengah belantara yang tidak pernah terinjak kaki manusia, udaranya panas tiada angin bertiup, cahaya matahari seakan membakar persada. Karena sangat letihnya, Jompong Suar beristirahat di bawah sebatang kayu. Dalam kepenatannya dia akhirnya tertidur. Beberapa lama Jompong Suar tertidur pulas, tiba – tiba dia serentak bangun. Dalam tidurnya dia bermimpi seolah – olah ada yang memanggil namanya.
“Dari manakah datangnya suara itu. Dan siapakah yang menyebut namaku di belantara yang sesunyi ini,” ujarnya sambil terheran-heran. Jompong Suar seolah – olah merasa yakin bahwa mimpinya itu akan ada maknanya. Perasaannya semakin hidup dan bertekad keras akan mencari dari mana datangnya suara itu. Kemudian ia bangkit dan berjalan. Ditengah keheranannya akan suara panggilan tadi diteruskan juga langkahnya mengikuti irama hatinya. Sebuah batu besar menghalang di depannya. Jompong Suar mendekati batu besar itu, mengitari sekelilingnya untuk meneliti. Tanpa diduga, tiba-tiba dilihatnya sebuah gua serangkaian dengan batu besar itu. Perasaan cemas pun bercampur takut. Tetapi ia berusaha melawan rasa takutnya dan memberanikan diri dengan berjalan perlahan – lahan menghampiri mulut gua. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat jelas di dalam gua itu berdiri seorang gadis remaja cantik jelita. Jompong Suar tertegun sejenak. Hati dan pikirannya belum percaya dengan pandangan matanya. Diusapnya matanya berkali – kali.
“Apakah aku sedang berhayal. Benarkah gadis itu manusia biasa atau barangkali sosok jin penghuni gua ini. Kalau gadis itu manusia biasa, maka anak siapakah gerangan. Dan mengapa pula dia memilih hidup di tempat yang terasing seperti ini”, tanyanya kepada dirinya sendiri.
Sebelum berbagai pertanyaan itu terjawab, dengan langkah gontai gadis itu menghampirinya. Dengan suara lembut gadis itu menyapa.
“Duhai Pangeran, sipakah Pangeran sebenarnya. Dan apakah maksud pangeran datang ke tempat yang jauh, seram dan angker ini,” sapan gadis itu kepada Jompong Suar. Jompong Suar masih saja terteguh atas segala peristiwa yang dialaminya ini. Ia masih mencoba menyakinkan dirinya bahwa apa yang ada di hadapannya ini bukanlah mimpi. Sambil mencoba untuk menenangkan perasaannya. Sementara putri gua yang cantik jelita itu terus menatapnya dengan pandangan malu – malu tetapi penuh harap. Akhirnya Jompong Suar menguasai segenap perasaan dan jiwanya, maka barulah ia mencoba menjawab sang putri gua itu.
“Ampun Tuan Putri. Hamba telah berani datang ke tempat ini yang menyebabkan Tuan Putri terusik,” sapa Jompong Suar merendah sebagaimana layaknya seorang rakyat biasa.
“Oh. Tidak apa – apa. Saya sangat senang menerima kedatangan Pangeran,” ujar gadis itu.
Jompong Suar lalu mengelak bahwa dirinya bukanlah pangeran, melainkan rakyat biasa. “Tuan Putri, hamba bukanlah seorang Pangeran, hamba bukan dari golongan berdarah biru. Hamba adalah rakyat biasa,” jelas Jompong Suar.
Setelah mendengar penjelasannya, gadis itupun menyebut namanya.
“Wahai kanda Jompong Suar, namaku Mandang Wulan. Tetapi panggil saja aku dinda supaya pembicaraan kita lebih akrab,” akunya.
Selanjutnya Jompong Suar melanjutkan pertanyaan. “Wahai dinda Mandang Wulan, gerangan apakah sebabnya dinda berada di tempat ini. Jika dinda manusia juga seperti aku, tolong jelaskan kepada kanda siapakah ayah bunda adinda dan di manakah mereka sekarang berada,” tanyanya dengan santun.
Sejenak gadis itu terdiam. Matanya berkaca – kaca. Bibirnya yang tipis mungil itu bergetar seolah – olah mencoba membendung sesuatu perasaan yang menyesakkan di dadanya. Jompong Suar menatapnya dengan pandangan yang sangat bersahabat, sehingga gadis itu merasa yakin untuk menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
“Baiklah kanda, akan kuceritakan semuanya. Tetapi sebaiknya kita duduk di dalam saja. Tak baik bercakap sambil berdiri walaupun kita di tengah hutan dan berdua pula,” ajak gadis itu.
Gadis itu mengajak Jompong Suar menuju serambi depan gua. Setelah kedua muda mudi itu duduk berhadapan mulailah Putri Mandang Wulan bercerita. Putri menarik nafasnya dalam – dalam seakan berpikir dari mana akan dimulai ceritanya. “Kanda Jompong Suar, di tempat yang sunyi ini, aku hidup sebatangkara. Aku bagaikan anak terbuang dan tak ubahnya bagai dalam penjara. Tiada ibu ataupun ayah apalagi sanak saudara. Tiada teman tempat mengadu, tiada sahabat pelipur rindu. Hidupku terasa tersiksa walaupun kanda melihatku gembira. Makan nasi serasa sekam, minum air serasa duri. Batinku terkoyak dan harapanku hampir punah. Rumahku cuma gua angker ini. Hendak pergi kemana lagi,” katanya dengan lirih. Lalu gadis itu berhenti bercerita sejenak untuk menarik nafasnya. Setetes air mata pun membasahi pipinya yang merah. Bibirnya bergetar. Kembali ia mencoba menenangkan perasaan dan pikirannya. Sesaat kemudian dia melanjutkan kembali kisahnya.
“Satu – satunya yang memberiku hidup di tempat ini ialah seorang raksasa wanita. Dialah pengganti ibuku dan sehari – hari kupanggil nenek,” ungkap Mandang Wulan. Tersirap darah Jompong Suar ketika Putri Mandang Wulan menyebut raksasa sebagai nenek.
“Duhai dinda putri jadi engaku ini anak raksasa. Oh…… kalau begitu sebaiknya aku segera lari dari tempat ini,” ujar Jompong Suar. Kemudian gadis itu menyambung. “Tenanglah kanda. Dengarlah kisahku sampai selesai. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku ini manusia, bukan peri dan juga bukan jin. Aku takkan sampai hati untuk menipumu,” ungkap gadis itu, lalu meneruskan kisahnya.
“Nenekku akan kembali ke gua setelah matahari terbenam. Karena itu tenangkanlah diri kanda. Aku akan ceritakan lebih jauh tentang diriku ini. Kanda, sebenarnya aku ini adalah putri seorang raja. Tetapi aku bernasib buruk. Dahulu sewaktu aku berjalan – jalan di halaman istana tiba – tiba aku disambar oleh seorang raksasa wanita dan membawaku ke tempat ini. Aku meronta – ronta dan minta tolong tetapi waktu itu tak ada yang mendengarku. Tak seorangpun dari penghuni istana mengetahui kepergianku. Sekarang sudah setahun lamanya aku tersiksa di tempat ini. Tinggal menunggu saatnya aku akan mati,” tutur Mandang Wulan mengakhiri ceritanya. Air matanya semakin deras mengalir. Segala perasaan berkecamuk di dalam batinnya. Rindu ayahanda dan bunda, rindu saudara – saudaranya. Teringat saat – saat bahagia bersama ayah bunda dan segenap penghuni istana. Teringat inang pengasuhnya yang mengurusnya setiap hari. Sekarang selama setahun, hati dan jiwanya kosong. Dengan kehadiran Jompong Suar ada setitik harapan di dalam batinnya. Mungkinkah Yang Maha Kuasa telah datang untuk menolongnya.
Iba hati Jompong Suar mendengar penuturan gadis jelita itu. Seperti halnya Mandang wulan, maka sekarang Jompong Suar pun mencoba membagi perasaan dengan wanita itu. Jompong Suar mencoba untuk menceritkan dirinya lebih jauh lagi. “Dinda Mandang Wulan tercinta. Jika demikian kisahmu, maka dengarlah ceritaku”, kata Jompong Suar. Bergetar hati Mandang Wulan menyimak kata – kata Jompong Suar. Ada perasaan lain yang menyejukkan hatinya. Kemudian Jompong Suar melanjutkan kisahnya. “Aku ini lelaki yang bernasib buruk, tak ubahnya seperti engkau juga. Aku dituduh bersalah besar. Paduka raja memberiku hukuman yang sangat berat. Sebenarnya tak kuasa aku untuk melalukannya. Aku diperintahkan untuk mencari sebatang bambu berdaun emas, berbunga intan. Jika aku menemukan bambu itu, maka aku akan beroleh hadiah dari baginda Raja. Tetapi jika tidak, maka aku akan mendapatkan hukuman yang lebih berat lagi. Telah habis daratan kudatangi, namun bambu itu tidak kutemukan. Kini aku mencari di hutan rimba. Itulah sebabnya aku sampai ke tempat ini. Jika tiada aku pun takkan kembali walaupun ayah dan ibu menungguku di rumah. Demikian dinda kisahku sampai aku berada di hadapanmu sekarang ini,” ungkap Jompong Suar mengakhiri kisahnya.
Kini Mandang Wulan merasa agak tenang dan terhibur setelah hadir di sampingnya seseorang di mana dia dapat membagi duka derita. Ada perasaan senasib, ada kekuatan batin yang menyatu untuk menembus apapun permasalahan dan penghalang dalam hidup ini. Dua kekuatan yang selama ini beku dan hampir mati, kini saling mengisi kekosongan masing – masing.
“Duhai kanda Jompong Suar. Sama benar nasib kita,” kata Mandang Wulan memulai lagi pembicaraan. Kata – kata itu kemudian dilanjutkannya dengan senandung syair yang merdu dari bibir seorang Putri Raja.
Hendak ku pulang ke kampung halaman
Namun kemana kucari teman
Ingin bertemu ayah bundaku
Siapa pula sudi membantu
Akan halnya Jompong Suar yang mendapatkan tugas berat untuk memperoleh bambu yang berdaun emas dan berbunga intan yang akan menentukan hidup atau matinya, itulah yang masih tetap membebani pikirannya. Namun tak disangka oleh Jompong Suar tiba – tiba Mandang Wulan memberikannya harapan.
“Duhai kanda Jompong Suar. Pucuk dicinta ulam tiba. Segala titah baginda Raja yang dibebankan kepadamu sebagai hukuman itu tentu akan berakhir,” kata Mandang Wulan.
“Oh Dinda Mandang Wulan. Aku tidak mengerti maksudmu,” sambut Jompong Suar.
“Dengarlah Kanda. Di tempat yang sunyi inilah aku diberi tugas oleh nenek raksasa untuk menjaga sebuah bambu seperti yang kanda maksudkan itu,” tegas Mandang Wulan.
“Oh. Benarkah kata – katamu dinda”, tanya Jompong Suar sambil tersentak kaget.
“Benar kanda, Tak mungkin aku membohongimu. Ayolah kanda, kita ke sana untuk mengambilnya,” lanjut Mandang Wulan.
Semakin besar harapan Jompong Suar untuk kembali ke kampung halamannya. Mereka berjalan menuju pohon bambu itu. Jompong Suar tidak menyia – nyiakan waktunya. Sebentar saja bambu itu sudah berada di tangannya. Tiada terkira gembira hati Jompong Suar. Ia akan membawa putri Mandang Wulan pergi ke kampung bertemu dan bersatu dengan orangtuanya. Setelah bambu itu berada di tanganya. Jompong Suar segera mengajak Mandang Wulan untuk meninggalkan tempat itu.
“Wahai Dinda bergegaslah secepatnya. Matahari telah condong ke barat. Sebentar lagi tentu raksasa itu kembali,” ajak Jompong Suar. Maka segeralah Mandang Wulan mempersiapkan sesuatu yang mungkin masih dapat dibawanya untuk bekal perjalanan. Terlontarlah harapan kepada Jomong Suar. “Benar kanda. Tak tahan aku di tempat ini. Perjumpaan kita yang tak terduga ini adalah petunjuk Tuhan. Bawalah aku ke mana saja. Jangan tinggalkan aku kanda. Aku tak ingin berpisah denganmu. Kalau aku harus mati, maka biarkanlah aku mati asalkan tetap bersamu kanda,” ujar Mandang Wulan.
Keduanya pun segera meninggalkan gua itu. Mereka membawa bambu berdaun emas dan berbunga intan itu. Bambu itu adalah milik nenek raksasa tidak sebatangpun terdapat di tempat lain. Bambu itu tingginya hanya sehasta, mempunyai empat ruas dan empat buku. Pada setiap buku terdapat sebuah tangkai. Dan di ujung tangkai terdapat sebuah daun emas dan masing – masing mempunyai sebuah kuncup yang warnanya berbeda pula. Tangkai pertama berwarna hijau dinamakan kuncup angin. Tangkai kedua berwarna putih dinamakan kuncup air. Tangkai ketiga warnanya merah dinamakan kuncup api. Sedangkan yang keempat berwarna kuning dinamakan kuncup tanah. Dari batangnya keluarlah sinar yang indah lebih – lebih di malam hari. Karena itu siang malam kedua remaja itu terus berjalan berkat adanya sinar terang bambu emas itu menjadi penerang jalan yang dilaluinya.
Setelah tiga hari tiga malam lamanya mereka berjalan menyusuri belantara, tiba – tiba pada hari keempat terdengar oleh mereka suara menakutkan. Putri Mandang Wulan maklum bahwa suara itu adalah suara raksasa. Rupanya rakasasa itu sudah mengetahui kalau Mandang Wulan telah menghilang lari meninggalkan gua. Raksasa itu terbang mengitari hutan mencari cahaya bambu emas miliknya. Mandang Wulan telah melihat raksasa itu datang mengejar mereka. Bagaikan akan tumbang pepohonan disebabkan tiupan angin yang mengepakkan sayapnya. Jompong Suar mulai khawatir akan keselamatan mereka berdua. Namun tidak demikian dengan Mandang Wulan.
“Kanda, berikan bambu itu kepada dinda, agaknya kita dalam bahaya”, ucapnya. Segeralah Mandang Wulan meniup kuncup angin. Dengan seketika bertiuplah angin yang sangat kencang dan kuat ke arah raksasa itu. Raksasa itu terlempar dan kemudian terhempas ke tanah. Raksasa itu meraung – raung kesakitan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Namun tidak lama kemudian raksasa itu datang lagi. Kali ini ia lebih geram. Suara teriakannya menggemuruh menggema seolah – olah akan meruntuhkan seluruh pepohonan yang ada. Raksasa itu kini sangat marah. Jompong Suar sangat ketakutan. Mereka berdua terus saja berjalan berlari, sementara raksasa itu terus mengejar. Ketika raksasa itu sudah semakin mendekat, maka berkatalah Putri Mandang Wulan,”Tenanglah kanda, jangan jauh dari diriku,” tegas Mandang Wulan dengan mantap. Sementara raksasa itu terus mendekat. Mandang Wulan kembali meniup kuncup bambu itu. Kali ini yang ditiup adalah kuncup air. Maka turunlah hujan yang sangat deras disertai petir yang menyambar. Hujan yang deras membuat raksasa itu basah kuyup dan menggigil kedinginan lalu tersungkur jatuh.
Putri Mandang Wulan mengajak Jompong Suar mempercepat perjalanan. Mandang Wulan yakin bahwa raksasa itu tetap akan mengejar mereka. Mereka terus mempercepat perjalanan. Tepat seperti apa yang dikatakan Mandang Wulan, sekarang raksasa itu kembali mengejar. Terdengar di kejauhan suaranya yang gemuruh melabrak pepohonan. Bunyi pohon patah gemeretak dan batu – batu pecah berhamburan dihantam oleh sang raksasa yang kian marah. Mandang Wulan dan Jompong Suar melihat itu datang dari arah yang berlawanan. Rupanya raksasa itu mengambil jalan melintas untuk menghadang dan menyergap kedua remaja itu. Tampak oleh mereka berdua raksasa itu membawa beberapa potong tali. Suaranya membelah hutan sekitar. “Sekarang kalian akan mampus. Akan kuikat leher kalian dan akan kubuang kalian ke tengah laut agar kalian menjadi santapan buaya,” geramnya.
“Cepatlah Dinda, jangan biarkan dia menghampiri kita. Dia sangat berbahaya,” kata Jompong Suar.
Segeralah Putri Mandang Wulan mengangkat bambu itu tinggi – tinggi sambil berkata. “Kesempatan ini akan kutamatkan riwayat raksasa itu. Kanda biarlah supaya kita aman menempuh perjalanan ini,” tandas Mandang Wulan.
Dengan sekuat tenaga kuncup ketiga dan keempat ditiupnya secara bersamaan, yaitu kuncup api dan kuncup tanah. Alangkah ajaibnya dari kuncup sekecil itu bersemburan api yang dahsyat melalap rakasasa yang galak dan jahat itu, sehingga menghanguskan sayap dan seluruh tubuhnya. Pekik kesakitan menggelegar dari mulut sang raksasa. Tanah tempat berdirinya terbelah membenamkan tubuhnya hingga batas perutnya. Kendati raksasa yang kuat itu berusaha melepaskan diri, tetapi jepitan tanah itu seolah – olah semakin kuat saja menjepitnya. Raksasa itu meraung – raung kesakitan. Tulang belulangnya remuk dan seluruh daging di tubuhnya telah hangus terbakar. Akhirnya sang raksasa yang ganas itu rebah ke bumi tiada bangun lagi.
Mandang Wulan merasa terteguh juga. Raksasa yang selama lebih dari setahun dipanggilnya dengan nenek itu, kini telah tewas. Ada juga kesedihan yang menyelinap dalam batinnya. Dirinya memang telah dibuat tersiksa oleh raksasa itu. Selama dalam sekapan, raksasa itu ternyata tidak pernah menyakiti tubuhnya. Kendati demikian raksasa itu tetap saja punya tujuan akhir untuk membuatnya menderita. Sekarang lepas sudah segala penderitaannya. Dalam kelelahan perjalanan, Mandang Wulan mulai berbicara. “Kini amanlah perjalanan kita kanda. Bersyukurlah kepada Yang Maha Pengasih. Kita telah dilindungi dan diselamatkan,” kata Mandang Wulan.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan menuju kampung halaman yang letaknya masih cukup jauh. Mandang Wulan sebagai putri seorang raja yang masa kecilnya hidup dan dibesarkan dilingkungan istana tidak banyak mengetahui perihal daerah di luar istana. Sehingga dalam perjalanan kerap kali dia bertanya kepada Jompong Suar tentang nama tempat, nama kampung atau nama desa yang dilaluinya.
Kangen dan rindu kampung halaman, rindu kepada ayah bunda dan sanak saudara kian hari kian memuncak. Perjalanan yang sulit, jauh dan melelahkan itu seolah-olah tidak dipedulikan lagi. Lebih – lebih bahaya yang paling besar telah mereka atasi berdua. Mereka terus berjalan. Akhirnya mereka sampai di batas kota. Tiba – tiba Mandang Wulan bertanya kepada Jompong Suar. “Kanda, kalau boleh dinda bertanya di kerajaan mana gerangan tujuan kita sekarang dan siapakah pula paduka raja yang telah menjatuhkan hukuman itu,” tanya Mandang Wulan. Belum sempat Jompong Suar menjawab, Mandang Wulan melanjutkan lagi pertanyaan. “Bagaimana seandainya bambu yang kanda persembahan ini ditolak oleh sang Paduka Raja, karena boleh jadi tidak serupa dengan bambu yang dimaksudkan,” tanya Mandang Wulan.
Mendapat pertanyaan itu Jompong Suar terteguh. Memang benar, sekiranya paduka Raja menyatakan bahwa bukanlah bambu itu yang dimaksudkan, maka tentulah sesuai dengan janji baginda bahwa kepadanya akan diberikan hukuman yang lebih berat lagi. Namun hukuman itu tidak jelas dan tidak diketahui bentuknya. Jompong Suar menyadari bahwa Mandang Wulan sedang merisaukan nasib mereka berdua. Sekiranya Jompong Suar mendapat hukuman yang lebih berat tentunya Mandang Wulan akan mengalami nasib yang tidak jelas pula. Akankah dirinya dapat bertemu dengan ayah bundanya atau akan ikut dihukum oleh sang Raja sekiranya raja itu adalah raja yang kejam. Berbagai pikiran dan perasaan berkecamuk di dalam diri mereka. Atas pertanyaan Mandang Wulan kemudian Jompang Suar menjawab. “Tenangkanlah pikiran dan perasaan dinda. Jangan terlalu dipikirkan berbagai nasib buruk yang mungkin kita alami. Bagiku sudah mantap karena dulu ketika menerima hukuman ini dari baginda Raja aku sudah berjanji kepada baginda Raja dan kepada diriku sendiri. Aku akan menanggung apapun akibat dari semua ini,” tegas Jompong Suar menenangkan hati Putri Mandang Wulan.
“Tidak Kanda, akupun akan ikut memikul tanggungjawab. Tak sampai hati dinda membiarkan kanda menderita seorang diri. Bukankah kita telah berjanji untuk sehidup semati dan takkan berpisah lagi,” ucapnya.
Mendengar itu Jompong Suar kemudian melanjutkan pembicaraan. “Dinda, untuk langkah awal, sebelum menuju kepada baginda raja dimana kanda akan menyerahkan bambu ini, maka sebaiknya kita berdua meneruskan perjalanan menuju ke kampung halamanmu untuk mengantarkanmu kepada kedua orangtuamu. Setelah itu barulah aku akan melanjutkan perjalanan menuju ke istana raja kami yaitu Paduka Raja Buntar Buana,” kata Jompong Suar.
Mendengar itu Mandang Wulan sangat terkejut bercampur gembira karena ternyata Paduka Raja yang menjatuhkah hukuman kepada Jompong Suar untuk mencari bambu emas itu, tidak lain adalah orang tuanya sendiri Raja Buntar Buana.
Langsung saja Mandang Wulan memeluk Jompong Suar. Lalu mereka pun bergegas menuju istana Raja Buntar Buana. Setelah mereka sampai ke pintu gerbang istana, Jompong Suar menjelaskan kepada para pengawal istana akan maksud dan tujuannya ke istana, dan mohon ijin untuk menghadap Paduka Raja Buntar Buana. Maka pengawal pun segera melaporkan kepada Baginda Raja akan adanya tamu yang bernama Jompong Suar beserta seorang gadis remaja yang cantik. Baginda Raja pun segera memerintahkan pengawal untuk mengijinkan Jompong Suar masuk ke istana. Akan halnya Mandang Wulan, tidak ada di antara pengawal yang mengenalnya karena telah setahun lebih sang putri ini menghilang. Mandang Wulan dan Jompong Suar juga mencoba menahan diri untuk tidak memberikan keterangan kepada siapapun tentang sang Putri.
Maka masuklah mereka ke ruang istana di mana Raja Buntar Buana berada di singgasana kerajaan itu. Di ruang istana hadir pula permaisuri yaitu ibunda dari Putri Mandang Wulan. Di samping itu segenap menteri dan punggawa juga hadir. Jompong Suar dan putri Mandang Wulan lalu duduk bersimpuh untuk mengatur sembah. Seluruh isi istana di ruangan itu menatap kepada Mandang Wulan, nampaknya permaisuri tergetar batin dan jiwanya seolah – olah anaknya yang hilang setahun lalu kini ada di hadapannya. Perasaan yang sama dialami juga oleh baginda Raja Buntar Buana dan seluruh unsur pemerintahan istana. Mandang Wulan menatap kedua ayah bundanya. Tampaknya permaisuri tak kuasa menahan perasaannya untuk segera mengetahui siapa sebenarnya gadis yang datang bersama Jompong Suar di hadapannya. Lalu permaisuri berucap.
“Kakanda Baginda Raja, sungguh wajah gadis ini sangat mirip dengan Putri kita Mandang Wulan,” kata permaisuri.
Belum sempat baginda Raja menyahuti permaisuri, Mandang Wulan juga sudah tak dapat menahan haru.
“Benar Bunda Ratu dan Ayahanda Raja, hamba adalah Putri Mandang Wulan,” kata sang putri sambil menghambur memeluk kedua orangtuanya. Suasana jadi berubah penuh tangis keharuan. Mereka berpelukan penuh kebahagiaan. Putri yang menghilang lebih setahun lalu, kini telah kembali. Maka segeralah tersebar berita itu ke seluruh pelosok kerajaan. Raja Buntar Buana dan seluruh istana serta rakyat kerajaan sangat bersuka cita.
Kini, Jompong Suar yang dihukumnya telah berhasil melaksanakan hukuman dengan penuh tanggungjawab. Bukan saja bambu itu yang telah diperoleh oleh Baginda Raja, tetapi yang tak ternilai harganya adalah putri baginda Mandang Wulan telah pula ditemukan. Seluruh rakyat mengelu – elukan baginda Raja. Akhir cerita, maka cinta kasih yang telah bersemi antara Jompong Suar dan Mandang Wulan segeralah mendapat restu dari baginda Raja dan Permaisuri berserta seluruh keluarga istana. Jompong Suar dianugerahi gelar ‘Pangeran’ dan dikawinkan dengan Putri Mandang Wulan. Mereka berdua kini hidup rukun penuh kebahagiaan.

Kabupaten Sumbawa memilki karakteristik egaliter yang terbuka bagi setiap pendatang dari mana saja. Hingga penghujung tahun 2010 daerah yang luas wilayahnya sekitar 8.493 km² ini memiliki  jumlah penduduk 413.869. Daerah ini juga dikenal sebagai replika negara Indonesia. Penduduk di kabupaten  ini terdiri dari masyarakat berbagai suku, agama dan golongan yang hidup damai dan tenteram di dalam bumi ‘Sabalong Sama Lewa’. Karenanya tidak aneh kalau daerah ini memilki kekayaan adat dan budaya serta cerita-cerita rakyat yang unik.